Warna senja membentang luas di atas sana, memberikan gradasi warna baru pada sang langit biru. Ditempatnya, ketiga laki-laki itu tengah terbuai dengan gurauan yang mereka ciptakan sendiri. Tak peduli dimana saat ini mereka bergerumun, yang terpenting semua bahagia.
Sampai atensitas ketiganya harus terlihkan kala mendengar deritan pintu terbuka, ditambah teriakan dari arah yang sama.
"ADIB NURRODIN!" sang empu menoleh begitu mendengar teriakan familiar dari bidadarinya.
Dengan kacakan pinggang, sosok yang diketahui sang ibu dari Adib melangkah lebar menghampiri putra satu-satunya dengan memberi jeweran pada telinga bocah tan tersebut.
"Adahhh… Mama, sakit!"
"Siapa yang suruh kamu bolos, Ha?!"
Dalam hati, Adib panik. Dari mana Mamanya tahu? Tidak mungkin pihak sekolah. Ayolah, mungkin guru akan berterimakasih karena Adib tidak ada di dalam kelas. Teman-temannya?
Sedang berpikir, tiba-tiba tarikan telinga Riana mengeras. Membuat pekikan keluar dari bibir Adib.
"Kamu ini, ditanya malah diem!"
Dengan gelagapan, Adib menunjuk Dion, "T_tadi Bang Dion yang nyuruh Adib ke sini, Ma!"
Mata Dion lekas membola mendengar namanya dibawa-bawa. Apa-apaan bocah itu?! Pikirnya.
"Enggak, Tan!" sanggah Dion yang mulai panik. Ia tahu betul bagaimana kemarahan dari sahabat orang taunya itu. Jadi dengan kepanikannya, Dion menggeleng keras dengan tangan yang turut menolak pernyataan Adib.
"Udah, marahin aja, Ma, semuanya! Emang bersekutu mereka tuh." tambah Galang memanasi. Dengan tenangnya ia memakan buah jeruk seraya memandangi ketiganya. Ia tak sabar melihat dua orang tersebut dimarahi habis-habisan. Jangan lupakan, Galang masih dendam soal kejadian pagi tadi.
"Dek, kok lo gitu sih?!"
"Apa sih? Siapa yang ngomong tadi? Nggak keliatan, aku bukan indigo."
"Sialan." gumamnya.
***
Keesokan harinya semua berjalan seperti semestinya. Kondisi Galang membaik, ia pun sudah diperbolehkan beraktivitas seperti biasanya. Namun bedanya kini, tak ada lagi kawalan untuknya. Ayahnya hanya akan mengawasinya dari jauh.
Ditengah-tengah siswa lain yang menduduki meja kantin, Galang dan kawan-kawannya turut mengambil tempat di sana. Mereka tengah menikmati minuman penyegar juga beberapa cemilan seraya bercerita.
"Cie yang udah jadi bocah nakal..." ejek Samuel kala Adib bersama Galang datang menghampiri meja kantin.
"Sialan, lo kan yang kemaren bilang ke Mama gue?! Ngaku lo!"
"Dih...dih, fitnah! Siapa juga yang ngaduin? Noh, si Mark noh!" tunjuknya pada Mark.
"Ey, gue nggak bilang ke Tante Riana ya!" sanggahnya, "tapi ke Om Henry."
"Sama aja, bajigur. Gue slepet juga lo!" balas Adib, seakan ingin menyerang Mark menggunakan sikunya. Tanggapan Mark hanya menggidikkan bahu, lantas ia melanjutkan acara makan snacknya.
"Ini Amber mana ya? Tumben nggak ngumpul." lanjutnya yang baru menyadari tak hadirnya perempuan satu-satunya di pertemanannya. Karena biasanya ia selalu turut hadir bersama Samuel.
"Amber__Nah, tuh dia, " tunjuk Samuel, "Mber!" panggilnya kemudian
Di lain tempat, Amber yang tengah kesusahan mencari teman-temannya pun menoleh kala ada yang memanggil namanya. Dengan segera ia menghampiri meja di pojok sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Restraint
RastgeleHarta adalah salah satu penyebab munculnya perselisihan. Begitupun apa yang terjadi pada keluarga ini. Banyak masalah yang terjadi didalamnya, namun hanya satu penyebabnya. *Cerita ini hanya fiktif belaka, jika terjadi persamaan tokoh dan lainya moh...