24

21 3 2
                                    

Lian dan Aaron berdiri di depan toko bunga milik mama Lian. Lian mengedarkan pandangannya di tatapnya setiap sudut toko itu, dia mengingat kenangannya saat membantu Jia-Li. Lian tersenyum lalu kemudian dia menangis, mengingat saat ibunya tertembak oleh pistol Kaibo.

Aaron yang melihat raut wajah Lian berubah muram lalu dengan sigap di genggamnya tangan Lian.

"Aku tau apa yang kau rasakan. Sudah jangan sedih"

Lian lalu menatap Aaron dengan mata yang masih mengalirkan Air matanya. "Aku, menyesal. Karenaku mama meninggal".

Aaron mengusap air mata Lian yang mengalir begitu saja.

"Kau boleh sedih, tapi jangan berlarut-larut, cukup ingat saja kenangan pahit itu. Karena kau tak akan pernah bisa mengembalikan ibumu kembali ke dunia ini. Bangkitlah Lian. Jangan terus terpuruk di masa lalu, lupakan dia".

Lian mengerutkan dahinya. "Apa maksudmu dengan dia Aaron?". Lian menepiskan tangan Aaron yang masih di pipi Lian.

"Lupakan masalahmu dengannya."

"Tidak Aaron. Dia harus mati."

"Biar aku yang membunuhnya." Tegas Aaron.

"Tidak.. aku ingin dia mati di tanganku sendiri."

"Kau tidak akan bisa membunuhnya Lian. Aku merasa kau masih mencintainya."

"Apa yang kau bicarakan, Aaron? Aku sudah tidak mencintainya."

"Jika kau tak mencintainya mengapa saat kau bertarung dengannya kau masih gemetar setelah mengetahui dia adalah lawanmu!."

Lian tampak gugup di hadapan Aaron. Mencari kata-kata yang ada di dalam kepalanya. "Karena.. aku.. aku terlalu terkejut saat melihatnya."

Aaron terkekeh. "Itu karena kau masih mencintainya." Aaron lalu memalingkan tubuhnya dari hadapan Lian. Hendak pergi namun di tahan oleh Lian.

"Tapi aku sekarang mencintaimu Aaron." Kata Lian sambil mencekal tangan Aaron.

"Ya.. benar kau mencintaiku. Dan kau juga masih mencintainya. Sebegitu sulitkah kau melupakannya?"

"Aaron.. aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Masih kurang apa yang sudah ku berikan padamu?".

"Ya.. biarkan aku yang membunuhnya  untukmu."

Lian terdiam tak mampu mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya. Ingin sekali rasanya Lian mengatakan "iya, kau boleh membunuhnya silahkan".  Namun sangat sulit itu terucap dari bibirnya.

Aaron pergi melangkahkan kakinya ke arah mobil. Saat ingin membuka pintu tangan Aaron di cekal oleh Lian.

"Kau boleh membunuhnya"

Seketika Aaron menoleh ke arah Lian.

"Asal aku juga bersamamu dalam membunuhnya. Aku tak ingin kau bergerak sendiri."

Aaron mengerutkan keningnya menatap Lian dengan dalam. Lalu di anggukkan kepalanya tanda setuju atas ucapan Lian.

"Mari masuk aku antar kau ke kantor." Aaron lalu membimbing Lian masuk ke dalam mobilnya.

Di dalam mobil. Akhirnya Lian membuka suara. "Mengapa kamu ingin sekali menggantikanku membunuh Kai Aaron?".

Aaron yang masih fokus menyetir lalu meminggirkan mobilnya di pinggir jalan.

Aaron menatap Lian dengan sendu, di usapnya pipi Lian. "Aku ingin kamu tidak terlibat dengan masa lalumu, biarkan aku yang  menghilangkan masa lalumu."

Aaron dan Lian saling memandang, menatap manik mata satu sama lain.

"Tapi jika kamu ingin membunuhnya juga, aku bisa apa, karena aku juga tak ingin membiarkan ke egoisanku akan menyakiti hatimu." Aaron tersenyum.

Lian tersenyum. Bibirnya tak mampu mengucapkan kata-kata bahagianya. Perkataan Aaron membuat bibirnya kelu tak mampu mengucapkan rasa bahagianya.

"Sudahlah aku terlalu banyak bicara di depanmu, kita berangkat sekarang." Kata Aaron tersenyum menatap Lian.

Ya,  Aaron bukan tipe pria yang banyak bicara, dia mampu menyembunyikan apa yang ada di dalam hatinya, mampu menyembunyikan apa saja yang dia rasakan. Namun semenjak adanya Lian di dalam hatinya. Aaron tak mampu lagi membendung apa yang dia rasakan. Aaron yang dulu telah berganti menjadi Aaron yang sedikit lebih banyak bicara di depan Lian.

REVENGE IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang