8. Syarat Batal

3.2K 343 38
                                    

Aqila menyeruput secangkir susu coklat yang diberikan waiters di cafe tempatnya berada, ketika merasa minuman itu tak lagi panas sampai membakar lidahnya. Sesekali ia melirik ponselnya untuk menerima balasan dari seseorang.

Alunan musik akustik di cafe itu membuat dirinya terbawa suasana. Bayangan masa lalu mengisi memorinya. Dulu, dirinya begitu sering ke cafe untuk hangout bersama teman-temannya. Ber-selfie ria dengan memamerkan rambut ikal dan kulit mulusnya.

Aqila bersyukur dengan keadaannya seperti saat ini. Auratnya sudah ia tutup dengan pakaian muslimah, tidak lagi terbuka seperti dulu ketika dirinya masih remaja. Walaupun pakaiannya masih tergolong belum begitu lebar, akan tetapi tetap menutupi aurat.

Kadang kala, di saat melihat sekeliling, tak jarang ia menyesali takdir yang membuat ayahnya merenggut nyawa.

"Harusnya waktu itu papa juga ikut turun, sebelum mobil itu terjun ke jurang," gumamnya dengan menerawang entah ke mana.

Aqila ingat betul, siang itu sang ayah menjemputnya dari sekolah. Padahal, biasanya Aqila dijemput oleh supir pribadi. Itu adalah jemputan ayahnya untuk yang pertama dan terakhir selama dirinya sekolah karena ayahnya begitu sibuk dengan pekerjaan.

Sayang sekali, pada waktu ada yang berniat buruk dengan merusak mobil milik ayah Aqila sehingga remnya blong dan mengakibatkan mobil itu tersungkur ke jurang. Beruntung Aqila sudah diturunkan duluan dari mobil itu karena sangat ayah cepat menyadari tanda-tanda akan terjadi musibah karena tidak bisa mengerem mobilnya lagi.

Notifikasi di ponsel Aqila berbunyi, membuat gadis itu menunduk untuk membuka layar ponsel. Ada pesan masuk dari orang yang ditunggunya dengan menyatakan bahwa dirinya sudah tiba di parkiran cafe.

Gadis itu merapikan jilbabnya, lalu duduk tegak. Sebenarnya dirinya begitu nervous untuk bertemu dengan kakak lelaki dari Zulfi.

"Huh kenapa harus salah terima khitbah segala? harusnya gak perlu serumit ini," kesal Aqila seraya menarik lengan bajunya agar tidak tersingkap. Entah kenapa dia merasa begitu canggung dengan orang yang belum dikenalnya itu.

"Aqila,"

Panggilan itu sontak membuat Aqila menoleh ke belakang. Ia kaget ketika mendapati sosok lelaki yang terlihat begitu rapi dengan kemeja biru muda tengah melambai-lambai tangan ke arahnya. Menurut Aqila dunia begitu unik bin sempit.

"Ngapain harus ketemu Melayu Psycho itu segala? tambah gugup jadinya," keluh Aqila. "Pasti dia bakalan ngetawain aku kalau kepergok ketemuan sama abangnya Zulfi,"

Zulfan tersenyum tiga detik pada gadis itu, lalu menarik kursi dan duduk satu meja dengan posisi berhadapan. Aqila sampai melongo dibuatnya. Dia sama sekali belum tahu jika Zulfan adalah orang yang sedari tadi ditunggunya.

"Bapak ngapain duduk di sini? bukankah masih ada meja kosong lainnya?"

"Salah ke?" tanya Zulfan dengan kening berkerut.

"Boleh, tidak, Bapak pindah ke meja lain? soalnya saya sudah janjian dengan seseorang," ucap Aqila berusaha sesopan mungkin. Takut jika beasiswanya bisa dicabut kalau ketahuan tidak beretika dengan orang penting di kampus.

"Tak nak," balas Zulfan datar.

"Pak, saya mau ketemuan!" Aqila mulai kesal. Gadis tidak sabaran itu akhirnya berang sendiri. Sepertinya Aqila tidak sanggup bersikap sopan dengan lelaki di hadapannya itu. Sejak pertama kali mereka bertemu saja, Zulfan sudah menunjukkan tanda-tanda perselisihan.

"Nak jumpa siapa?" tanya Zulfan pura-pura tidak tahu.

"Saya mau ketemu sama calon suami saya. Kenapa?" Aqila berfikir jika berterus terang maka permasalahan akan cepat selesai, sehingga dirinya jujur saja. Sementara Zulfan berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertawa.

Salah Terima Khitbah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang