14. Masih Sama

2.2K 295 76
                                    

Hari minggu dinobatkan sebagai hari berkumpul dengan keluarga karena tidak adanya tuntutan kerja. Alamsyah bersama anak-anak dan istrinya memilih ngobrol bersama. Mereka sengaja tidak duduk di ruang tengah apalagi menyalakan televisi, karena tidak mau ada yang terabaikan. Semuanya harus fokus mendengar antara satu dengan lainnya.

Balkon lantai dua menjadi pilihan mereka. Selain alasan bisa lebih santai, mereka juga disuguhi gedung-gedung pencakar langit. Kadang, ngobrol di sana menumbuhkan inspirasi terbaru dalam kehidupan mereka.

Zulfi memanfaatkan kesempatan untuk mengobrol serius dengan sang ayah. Dirinya ingin dibelikan mobil baru. Lumayan, mungkin ia bisa membonceng Aqila suatu hari nanti. Seperti yang dilakukan Zulfi.

"Pi, boleh dong kalau Ade beli mobil baru?"

"Buat apa? motor kamu kan masih bagus," respon Alamsyah.

"Pi, Ade malu lho bawain motor gituan ke kampus," Zulfi beralasan.

"Kamu nggak merasa bersyukur ketika melihat mereka yang ke kampus cuma jalan kaki?"

"Itu mereka! lagian Papi nggak adil. Ketika abang ngerusakin motor gede aku, Papi ganti dengan motor matic. Giliran aku ngerusakin motornya abang, malah diganti sama civic. Gak adil banget, Pi!" curhatnya dengan nada yang terdengar sedikit naik.

"Kok jadi kamu yang ngatur Papi?" tanya Alamsyah yang kesal namun tetap berusaha tertawa agar tidak terkesan galak di mata anaknya.

"Abang sekolah di sekolah internasional, kuliahnya di luar negeri. Tapi aku? gak boleh jauh-jauh." bahkan Zulfi mengungkit ketidakadilan sang ayah sampai ke zaman sekolah abangnya.

"Jangan mengukur ukuran bajumu di badan orang lain. Abang Zul orangnya pinter, wajar kalau sekolahnya di sekolah internasional. Kalau kamu yang sekolah di sana, ntar malah gak sanggup mikir. Terus, kamu bilang Papi terlalu pemaksa. Abang juga kuliah di Malaysia karena jalur undangan. Ya ... walaupun masih banyak tawaran beasiswa di negara lain. Lagian, kamu itu lebih beruntung bisa kuliah di sini, pulang kuliah bisa istirahat. Coba liat abang, dia tinggal di asrama, harus masak sendiri, nyuci sendiri, eh kok malah nyanyi!"

Mariah tertawa sambil menepuk-nepuk lengan suaminya. Sementara Zulfan ikut tersenyum mendengarnya. Zulfi? mati kutu.

Alamsyah kembali menambahkan. "Oke lanjut. Kamu udah segede ini tapi belum mandiri. Apa-apa harus mami yang beresin. Bangun subuh aja harus bikin drama dulu. Gimana mau tinggal di negeri orang? yang ada kamu-nya gak keurus nanti."
  
"Mulai sekarang, kamu harus berubah. Biasakan tidur cepat dan bangun menjelang subuh biar gak buru-buru ke masjid," timpal Mariah.

"Ini tak, asyik main game jer!" tambah Zulfan semakin menyudutkan. "Kamu tahu tak, abang dekat bilik sebelah tak boleh focus nak buat pemeriksaan exam mahasiswa. Kamu asyik teriak-teriak macam orang nonton bola. Ni, Walidi dan Ummi kalau nak tahu, Ade ni kalau tak main game dia menyanyi keras-keras. Dah la suara dia tak sedap nak dengar!"

Alamsyah dan Mariah geleng-geleng kepala membayangkan Zulfi yang menganggu kenyamanan sang abang. Kamar mereka ada di bawah sehingga tidak bisa mengontrol kedua anaknya di malam hari.

"Zulfi, kamu itu sudah besar, udah seharusnya membuang tabiat kamu yang gak baik itu. Papi sengaja gak beliin kamu kendaraan bagus biar nantinya gak jalan-jalan sama anak gadis orang. Apalagi kalau sampai naik motor terus nempel-nempel gitu. Jijik tau nggak?" tutur sang ayah.

"Pi, beberapa hari yang lalu Abang juga boncengin cewek! dia nganterin Aqila pulang, Pi!" ungkap Zulfi. Alamsyah dan Mariah kaget mendengar itu.

"Yang bener, Bang?"

Salah Terima Khitbah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang