21. Ekspektasi yang Salah

1.8K 267 66
                                    

Sungguh, begitu tidak baik menduga-duga sesuatu, karena itu akan mengakibatkan kesalahpahaman dan memicu hal yang tidak kita dan dia diinginkan.

~Salah Terima Khitbah~

Pagi-pagi sekali Aqila beserta teman kelompoknya sudah bersiap untuk menuju kantor camat. Kabarnya di sana ada sebuah kegiatan yang harus mereka hadiri.

Mereka berangkat menggunakan mobil pick up milik salah satu warga. Andin si tomboi dan tidak banyak bicara dipercayakan menjadi supir. Sementara Aqila dan teman-temannya seru-seruan di belakang sembari menikmati keindahan alam di sepanjang jalan ketika melewati perbukitan. Dengan mobil terbuka seperti itu, pasti menambah kesan semarak karena bisa melihat sekeliling dengan bebas. Tak jarang mereka mengabadikan momen itu dengan foto dan video. Pasti suatu hari nanti akan menjadi pengalaman terindah untuk mereka.

"Di kampung enak ya, udaranya sejuk. Kalau di kota ya polusi," ujar Risa yang berdiri di tengah mobil sambil merentang tangan merasakan udara yang menyapu wajahnya di pagi itu. Menurutnya ini seperti sedang naik kapal Titanic.

"Akhirnya kamu mengakui kalau  kampung memiliki nilai positif. Dari kemaren kamu terus aja menjelekkan desa ini. Kotor lah, ngeri lah, atau apalah itu," ujar Lintang yang duduk di sudut mobil.

Risa menoleh lalu mendudukkan pantatnya di pinggiran mobil. "Eh, kribo, bisa diam gak?"

"Teman-teman, tolong jangan berantem ya, kita di sini punya visi dan misi yang sama. Kita harus akur seperti keluarga. Jangan sampai gara-gara ego kita jadi terpecah belah dan gak sukses semua perancangan di sini. Tolong jangan saling merendahkan, yang belum terbiasa dengan keadaan ini juga tolong bersabar dan pikirkan perasaan orang sekitar," nasehat Syafie. Mereka semua diam pada akhirnya.

Begitu tiba di kantor camat, ketujuh muda-mudi itu segera turun. Mereka dibuat takjub dengan kantor yang dibangun di atas bukit. Di depan dan samping bangunan kantor ditanami bunga-bunga indah dengan beragam warna. Mereka melirik ke bawah dan sekeliling, dari kejauhan mereka bisa menatap kebun teh dan lahan pertanian lainnya. Mungkin kantor tersebut sengaja dibangun di atas bukit agar pejabat itu mudah dalam mengontrol rakyatnya dari berbagai desa.

"Aqil!!!"

Aqila menoleh ke sumber suara. Tampak di teras kantor sosok Agus yang kini berjalan mendekatinya. Aqila memberikan seulas senyum, tak menyangka jika akan bertemu Agus.

"Apa kabar, Gus? Kita satu kecamatan ya?" Aqila menyapa dengan rasa tak percayaan.

"Segitunya kamu nggak peduli sama aku. Ya iyalah, kita satu kecamatan," desis Agus.

"Kamu kurusan, Gus," ucap Aqila setelah sekian detik memperhatikan komisarisnya itu.

"Iya nih, Aqil. Cewek-cewek di kelompokku pada malas masak, mereka malah bikin vlog di hutan. Kesal gak sih?" Agus tampak kesal sekali ketika menceritakannya. Bukannya kasihan, justru Aqila terkekeh geli mendengar curahan hati Agus.

"Kenapa kamu nggak masak sendiri aja? Kamu kan anak kos, pasti jago masak,"

"Nggak, Aqil. Selama ngekos aku ambil katering, gak pernah masak sendiri," cerita Agus.

Tak bisa memberi solusi, Aqila hanya dapat menyarankan agar lelaki itu bersabar menghadapi teman-teman kelompoknya sendiri.

"Ngomong-ngomong, urusan percintaan gimana? Udah ketemu cewek cakep, belum, di desa itu?" tanya Aqila iseng. Agus pernah bercerita jika ibunya meminta untuk dibawa pulang calon mantu dari tempatnya melakukan KPM.

"Gila, rata-rata janda di sana!" ungkap Agus penuh ekspresi.

"Oh ya?" Tanya Aqila melongo.

"Iya, di kampung itu, kalau ada anak gadis yang udah lulus SMA itu harus segera dinikahkan, bahkan mereka sampai dipaksa untuk menikah. Maka dari itu, rumah tangga jadi gak harmonis dan akhirnya bercerai. Hiduplah janda ... padahal masih muda-muda lho, bahkan ada yang baru tujuh belas tahun,"

Salah Terima Khitbah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang