Zulfan berdiri tegak di depan ruang kelas. Dari ketinggian lantai sepuluh fakultas berwarna putih kombinasi biru tua itu, Zulfan menatap lalu lalang mahasiswa di bawah sana. Ponselnya ia rapatkan ke telinga, lalu terkekeh pelan mendengar apa yang sedang disampaikan oleh lawan bicaranya.
"Pak, tadi saya baca surat edaran dari kampus di grup telegram universitas, saya mau tanya, kenapa beasiswa kami cuma ditanggung sampai semester tujuh doang, Pak?"
"Memang dah macam tu keputusan daripada atasan, time saya meeting dengan wakil rector tiga," jawab Zulfan sesuai informasi yang ia tahu.
"Bapak gak ada niat membantu mahasiswa? Harusnya kan Bapak sanggah, membela hak kami sebagai mahasiswa semester akhir ...."
"Saya dah cuba tapi takde hasil. Keputusan dah muktamat, tak boleh siapa nak ubah," Jelas Zulfan sepenuh hati. Setelah itu, mulai hening. Tak ada percakapan sedikitpun antara keduanya sampai beberapa menit.
"Pak?" Panggilan lawan bicaranya itu membuat Zulfan bersiap-siap, mungkin si penelpon meminta Zulfan memperjelas bahasa planetnya.
"Ya, kenapa?"
"Bapak tumben gak ngatain saya sekarang ...." Sontak Zulfan menjauhkan ponselnya dari wajah, lalu tertawa pelan. Sepertinya gadis itu rindu dihina dan dicaci maki olehnya.
"So? awak nak saya macam mana, Aqila? dah la, saya tak nak gaduh. Saya tengah ada kelas ni," balas Zulfan serius.
"Ooh lagi sibuk ya? Maaf ya, Pak, sudah mengganggu," balas Aqila terdengar tidak enakan. Ah, Zulfan tidak seseru dulu dimana mengajaknya baku hantam.
"Oke. No problem," respon Zulfan.
Kembali hening. Zulfan tampak berpikir sejenak, apakah harus menyampaikan sesuatu atau tidak pada gadis itu. "Qila, Mak awak cakap apa-apa, tak?"
"Mama saya? Nggak ada tuh. Emang kenapa?" Tanya gadis itu yang terdengar penasaran.
Zulfan diam cukup lama, sampai telepon itu dimatikan sepihak oleh Aqila tanpa lelaki itu sadari. Tatapan Zulfan melanglang buana pada beberapa mahasiswa yang tengah tertawa lepas bersama teman mereka di bawah sana.
Beberapa detik kemudian, ponsel di tangan Zulfan bergetar. Lelaki itu menatap layarnya dengan dahi mengernyit. Aqila meminta telepon via video. Mau tidak mau, Zulfan terpaksa menerimanya karena takut Aqila jadi curiga.
"Kenapa call lagi? Rindu saya la ni," Kekeh Zulfan sembari menatap lawan bicaranya lewat layar ponsel, berusaha menggoda gadis itu.
"Gak usah kegeeran ya, saya mau Bapak memperjelas maksud Bapak tadi. Emang ada apa dengan Mama saya?" Tanya Aqila penuh tuntutan.
"Mak awak ... mak awak nak kita orang kahwin la,"
"Lho, kok gitu sih? Bukannya waktu itu lamarannya udah batal ya? Bapak pake jampi-jampi apa buat menghasut mama saya?"
"Hei ... Awak fikir saya nak dengan awak? memang tak la! Mak awak yang nak macam tu. Awak cakap la dengan dia, minta cancel," sinis Zulfan.
Zulfan berusaha menahan senyum ketika melihat Aqila bersungut-sungut. Gadis itu mengucapkan salam lalu mematikan telepon. Begitu acara teleponan itu berakhir, Zulfan tertawa terbahak-bahak. Ia lupa kalau ternyata beberapa mahasiswa di ruangan menatapnya heran dan menganggap dosen itu sudah gila.
Ah, tidak masalah. Yang penting Zulfan berhasil melihat wajah merah Aqila ketika marah. Karena itu menyenangkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Terima Khitbah ✔
Spiritualité🇲🇨🇲🇾 (Indonesia X Malaysia) HARAP FOLLOW DULU Tentang mahasiswa ambis yang dihadapkan pada pilihan dalam khitbah tak terduga. Tentang dirinya yang muallaf dan bertemu lelaki Melayu dengan sifat perfeksionis yang dimilikinya. Temukan keseruan da...