Rumah kepala desa menjadi tempat untuk mengeksekusi berbagai masakan. Halaman belakang rumah itu sudah ramai akan mahasiswa dan beberapa warga. Biasanya istri pak kades dan para mahasiswa itu hanya memasak dalam porsi sedikit, tetapi hari ini mereka berencana mengundang anak yatim serta.
Teh milik warga yang diekspor ke luar kota mendapatkan hasil yang lumayan banyak dari biasanya. Maka dari itu pak kades membuat acara syukuran kecil-kecilan. Beberapa warga juga ikut menyedekahkan uangnya untuk acara itu. Kalau mereka membuat syukuran di rumah masing-masing, pasti tidak akan pernah cukup, maka dari itu mereka mengumpulkan sebagian kecil dari hasil panen dan diserahkan pada kepala desa agar diadakan sedikit kenduri.
"Kita hidup di dunia ini mencari keberkahan, jangan melulu berpikir bagaimana menjadi kaya dan bertahan hidup. Selama kita hidup, sudah pasti Allah akan menjaga kita. Tinggal kita yang berusaha dan beribadah," ujar pak Syam selaku kepala desa ketika pagi tadi sebelum mereka memulai acara masak.
Di sudut halaman terpasang tenda besar yang dibawahnya sedang duduk para wanita pemotong sayur.
"Terus kamu maunya gimana sekarang?" Tanya Syafie setelah mendengar curahan hati Aqila tentang Zulfi. Aqila yang tengah memotong kacang panjang itu hanya menghela napas, ia bingung harus bagaimana. Antara melanjutkan atau menghentikan saja agar masalah tidak semakin ruwet.
"Omongan dia gak pernah sejalan, itu yang bikin aku selalu ragu," akhirnya gadis itu bersuara.
Syafie kembali mendorong kayu yang dijadikan kayu bakar, agar air yang dimasaknya di dalam periuk segera mendidih. "Kamu mau dengar cerita, nggak?" Tanya Syafie sambil menatap Aqila.
"Cerita apa? Bermanfaat gak?" Tanya Aqila.
"Tergantung kamu bisa ambil hikmahnya atau enggak,"
"Boleh deh," putus Aqila.
Syafie mendekat pada Aqila lalu duduk di atas anyaman, tepat di hadapan Aqila dengan jarak satu meter. Ia sempat melirik ke sekitarnya terlebih dahulu untuk memperhatikan teman-temannya yang tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Lintang sedang membakar ayam bersama bapak-bapak di sana. Risa, Andin, dan temannya yang lain sedang mempersiapkan peralatan makan seperti piring, gelas, dan lainnya. Dibawah tenda itu cuma mereka berdua yang mahasiswa, selebihnya para ibu-ibu dan gadis desa. Jadi, aman dari teman-temannya.
"Ini rahasia, jangan kasih tau ke yang lain," bisik Syafie. Aqila mengangguk pelan dengan hati berdebar. Penasaran.
"Kamu tahu kan, gimana rasanya jadi santri dan terpisah antara pondok putra dan putri?"
"Aku nggak pernah, nggak bisa rasain," sela Aqila cepat. Syafie tertawa pelan. Sepertinya ia harus mencari tamsil yang lain.
"Oke, skip. Kebayang gak sih, gimana jadi aku yang masuk pesantren dari SD sampai SMA dan gak ketemu lawan jenis. Selain asrama, masjid, dan tempat ngaji dibuat terpisah, sekolah juga dibuat seperti itu. Gak ada istilah ketemu sama lawan jenis. Kalau kami mau mencuri-curi kesempatan, mungkin bisa ketemu ketika mereka keluar untuk belanja. Aku baru benar-benar ketemu cewek ketika mulai kuliah. Bahkan untuk mengenal yang namanya HP juga karena kuliah,"
"Terus terus?"
"Jurusan yang aku ambil gampang-gampang susah, gak semua orang mau ambil prodi itu. Di kelas kami yang perempuan cuma tiga orang. Yang satu udah menikah, yang satunya lagi belum menikah sih, tapi beliau udah berumur. Terus, tinggal satu akhwat bercadar yang menjadi pusat perhatian para lelaki, termasuk aku,"
"Kamu suka dia?"
"Iya, akhirnya aku datangin rumahnya dan melamar,"
"Seriusan? Diterima gak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Terima Khitbah ✔
Espiritual🇲🇨🇲🇾 (Indonesia X Malaysia) HARAP FOLLOW DULU Tentang mahasiswa ambis yang dihadapkan pada pilihan dalam khitbah tak terduga. Tentang dirinya yang muallaf dan bertemu lelaki Melayu dengan sifat perfeksionis yang dimilikinya. Temukan keseruan da...