"Sesak ini tidak main main ternyata, semakin menusuk semakin membelenggu."
Baca aja, kalau lupa baca chap sebelumnya
;)Suasana ruangan Jihan saat ini begitu sendu, hanya terlihat Jihan yang setiap saat semakin melemah. Suara monitor mengisi keheningan ruangan putih yang tak terlalu besar itu.
Sepasang bola mata bergerak gerak mengamati sosok yang terbaring lemah, ditambah dengan selang oksigen dan juga infus. Terlihat sangat kontras wajah yang lebam karena bekas pukulan dan bibir yang dihiasi plester.
"Belum seberapa, ini cuma awal. Rasa sakit yang Lo rasa engga sebanding dengan rasa sakit gue, Jihan." Sosok itu kemudian membuka pintu ruangan inap Jihan. Memperhatikan gadis manis namun penuh dengan lebam. Tidak ada seorangpun yang menjaga, maupun menjenguk. Apakah tidak ada yang peduli dengan gadis itu?
"Engga akan ada, kalau ada. Orang itu bakalan gue bunuh."
Sosok itu bersiul nyaring, lebih mirip siulan maut. Tangannya dengan lihat mencabut selang oksigen dan infus Jihan. Menertawakan Jihan yang tidak berdaya dan ia yakini akan segera menjemput ajalnya.
Selesai. Mengambil selimut, dan menyelimuti gadis itu hingga batas kepala. Seakan akan menyelimuti mayat dengan kain kafan.
"Tidur yang nyenyak, sweety." Sosok itu terkekeh geli. Dengan santai ia keluar dari ruangan yang sepi itu.
"Semoga kita berjumpa lagi, ya ... Kalau Lo masih hidup sih."
...
Andini berlari kencang, menyusuri lorong rumah sakit yang tidak terlalu ramai. Bagaimanapun juga, ia harus menjenguk sahabatnya. Andini ingin melihat Jihan, tidak melihat sahabatnya barang sehari saja Andini tidak kuat. Oke lupakan, itu terlalu lebay.
Setelah mengetahui kamar sahabatnya, Andini langsung berlari. Tidak perduli dengan hiasan rambut barunya, Berbahagia diatas penderitaan Jihan adalah hal yang paling utama saat ini.
Sampai. Andini yang melihat di balik kaca pintu terkejut.
"Hey, apa-apaan ini?!" Andini langsung masuk, membuka kain selimut hingga terlihat Jihan yang berusaha mencari oksigen.
"Sial! Lo apaain Jihan, Din?!" Sangat terkejut, Suara yang mampu membuat jantungnya berdebar takut. Farel dengan kilatan cahaya dimatanya secara tidak langsung mengatakan bahwa dia sangat emosi.
"Lo apaain Jihan, HAH?!" Farel panik, tangannya mulai sigap memasangkan kembali selang oksigen dan menurunkan selimut hingga dada. Memanggil dokter melalu tombol darurat yang ada di samping bangsal.
"Bu-bukan gue, Rel."
Farel menatap Andini dengan bengis. Andini ketakutan, belum pernah ia liat sosok Farel yang ada dihadapannya sekarang.
"Lo belum puas? Setelah Lo fitnah Jihan dengan kasus pencurian Lo belum puas sama sekali kah?!"
"Engga pernah gua lihat manusia sekejam lo, Din."
"Gadis munafik, ga punya hati, sok baik. Padahal Lo busuk!"
"Gue nyesel udah kenal sama lo, ngerti?"
"Mending, Lo keluar dan ga usah tunjukin wajah munafik Lo itu ke gue, jiji gue lihatnya!"
Hancur, hati Andini hancur. Remuk tak bersisa, alasan ia agar tetap terkontrol kini membencinya. Alasan Andini melakukan semua ini demi Farel sia-sia. Lelaki itu malah semakin membencinya.
"Sumpah! Gu-gue engga ngelakuin itu Farel!"
"BUKAN GUE! BUKAN GUE! LO HARUS PERCAYA FAREL!" Memohon, sangat berharap.
"Buat apa percaya sama gadis tukang fitnah kaya Lo? Engga guna!"
Tidak, Andini tidak bisa menerima perlakuan Farel. Saat ini bukan salahnya, Andini tidak melakukan apa-apa. Ta-tapi Fatnernya?
Sialan!
"Abian Sialan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Help Me || TAMAT
Teen FictionTentang Jihan yang hampir gila karena permainan semesta. "Vibes Jihan kek anak-anak haram gitu nggak sih? Upss ... canda anak haram!"