BAB 20

601 69 17
                                    

Jika setiap omongan bisa dipercaya
Lalu untuk apa materai diciptakan?
.
.
.


Setelah kepergian dokter, yang mengatakan bahwa Jihan baik-baik saja membuat Farel tenang. Jantungnya kembali berdetak dengan beraturan. Melihat wajah sayu Jihan yang tidak berdaya.

Membuat air mata Farel jatuh tiba-tiba, entah masalah apa yang sedang sahabatnya itu lewati.

Sampai-sampai hendak merenggut nyawa.

"Mulai sekarang, aku bakalan lindungi kamu. Engga peduli apapun masalah yang kamu hadapi, aku bakalan siap berdiri paling depan, Jihan." Menangis, lelaki berwajah tampan itu meluapkan segala kesedihannya. Memegang erat tangan pucat Jihan, dan mengusap dengan sayang kepala gadis itu.

"I love you, Han. Maaf, aku engga bisa bilang saat kamu sadar. Karena aku terlalu pengecut untuk itu."

"Aku terlalu takut denger kata penolakan dari kamu, dan sekarang aku percaya Han."

"Bahwa, engga ada kata persahabatan tanpa melibatkan hati diantara lelaki dan wanita."

...

"Mau bagaimana pun, aku engga bisa ngelupain Farel."

"Walaupun Abian selalu ada disamping aku, engga tau kenapa Farel selalu bisa berada dipikiran dan otakku."

Kalimat yang tidak terlalu panjang, namun dapat membuat sesuatu disana retak tanpa sisa.

Apa yang Abian pikirkan? Melepas selang infus dan oksigen gadis yang ia cintai?

Ya, Abian sudah gila seperti nya.

"Jihan sialan, sialan!" Hingga sosok Andini yang tiba-tiba muncul entah dari mana membuatnya terkejut.

"Apa cuma kata-kata itu yang bisa keluar dari mulut Lo hah?!"

Abian menatap Andini malas, sedangkan wajah gadis itu sudah memerah memendam emosi. Harus Andini akui saat ini dirinya tak terkendali, hanya karena sikap Abian yang tidak hati-hati membuat Farel salah paham dan membencinya.

"Karena perbuatan Lo, Farel jadi benci sama gue! Karena lo, Farel salah paham dan nuduh gua yang cabut selang oksigen nya Andini Brengsek!" Andini melempar apapun yang dilihatnya, namun Abian tetap tak berminat.

"Lo pantes ditolak oleh Jihan! Ngebunuh dia aja Lo gak becus  BANGSAT!" Kalimat Andini tidak membuat Abian marah. Tau arah pembicaraan ini kemana, lelaki itu duduk di kursi ruang tamunya yang gelap. Dirumah, Abian tidak ada siapapun kedua orang tuanya sibuk bekerja dan dia hanya anak satu-satunya.

"Lo itu cuma cowo tolol, cupu! Yang beraninya cuma main dibelakang! Cihhhh!"

"Gue aja jijik sama lo! Apalagi Jihan!"

Bruk!

Emosi Abian terpancing, Dengan kuat ia mencekik leher mulus Andini. Mata kanannya memicing, menggelengkan kepala dan menatap Andini dengan tajam.

"Lep-lepas-lepasin gue, Brengsek!"

"Andini ... Andini ..., Lo itu bodoh banget ya. Udah bodoh, dibenci Farel. Apalagi yang mau Lo pertahanin? Mendingan Lo mati aja deh, bereskan?" Andini meremas kuat kemeja Abian, gadis itu berusaha menghirup udara. Paru-parunya mulai sesak, lelaki gila di hadapannya ini mencekik terlalu kuat.

"Dengan baik hati, gue bisa kok bantuin Lo buat ke neraka," ucap Abian. Andini menggeleng, tenaganya hampir habis untuk melawan Abian.

"Eng-gak! Enggak Abian! Lep-lepasin gue." Mengangguk, Abian berpikir sejenak kemudian melepaskan cekikannya.

"Gak ada otak!" Andini terjatuh, badannya lemas, melirik ke cermin hingga tampak lehernya yang memerah dan sedikit berdarah.

Abian BRENGSEK!

"Jangan mancing emosi gue, Lo beruntung karena gue lagi engga mood sekarang. Mending Lo pulang, nangis ditempat tidur dan sayat sampe putus nandi Lo! Biar gue ga capek-capek buat ngebunuh," ujar Abian panjang. Andini hanya bisa mendelik.

"Satu lagi, jangan macam-macam buat mikir ngehinatin gue. Karena Rahasia terbesar Lo ada di gue, paham?"

...

Pulang sekolah, Jingga berencana menjenguk Jihan di rumah sakit. Ia dengar dari Farel jika sahabatnya itu sudah sadar, hanya tinggal satu mata pelajaran lagi. Tapi entah kenapa, Jingga merasa waktunya sangat lama.

"Hadehhh ... Ga ada Jihan otak gue mumet mikirin tugas mulu!" Clara memijat kepalanya, terasa pusing karena soal soal angka yang berserat rapi di papan tulis.

"Coba ada Jihan, gue kan enak tinggal nyuruh tuh anak miskin buat ngerjain tugas gue!"

"Percuma ada otak, kalau engga di pake. Bisa bisa tuh otak beku lagi," ucap Jingga. Clara merasa tersindir, namun melihat siapa lawannya sekarang membuat nyali gadis itu menciut seketika.

"Jingga, ini cokelat buat lo," ucap Rara manis.

"Cokelat yang dibawa bokap gue dari Swiis, harganya juga mahal. Engga kaya cokelat murahan disini. Rasanya pasti enak, Lo ambil aja. Gue ikhlas kok ngasih Lo satu, soalnya bokap gue bawa banyak banget."

Jingga mengerutkan dahi, namun tangannya mengambil cokelat itu dari tangan Rara. Membuat gadis berponi itu senang.

Membuka kemudian memakannya langsung.

"Gimana? Enak'kan?" Jingga mengangguk. Rara bertepuk tangan antusias.

"Pasti enak dong, cokelat mahal dari Swiss. Dibuat dari pabrik besar. Lo juga pasti bisa belinya kok Jing."

"Tapi kalau yang lain, gue nggak yakin bisa beli. Soalnya inikan cokelat nya mahal bangeeettt, dari luar negeri pula, kalau kaya Jihan ya ngga akan bisa beli."

"Awalnya enak, tapi kok lama-lama engga ya? Lo beli cokelat basi? Eh tapi Lo yakin kan kalau ini dari luar negeri?" Raut wajah Rara berubah memerah.

"Soalnya kemaren gue lihat di warung depan ada cokelat kaya gini deh."

Help Me || TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang