Amira dan Rahina memaksa untuk menamaniku, bukan berarti aku tidak mau ditemani mereka, hanya saja aku butuh waktu untuk sendiri, aku ingin menetralisir atas segala yang terjadi hari ini.
"Kamu serius tidak apa sendirian Husnah?" tanya Amira menatapku.
"Iya Amira dan juga soreh ini kalian punya jadwal masing-masing, Rahina harus mengajar ngaji kasian muridmu menunggu dan kamu Amira mau pergi tausiah ustadzah yang sudah lama kamu idamkan mumpung dia di kota kita sekarang!" jelasku panjang lebar.
"Ha iya, kamu harus kuat dan semangat ya Husnah, kalau ada apa-apa langsung telpon!" sahut Amira.
"Siap sahabat jannahku," ucapku.
Merekapun akhirnya pulang, menatap halaman rumahku, teringat waktu pertama kali datang kesini tepatnya 2 tahun yang lalu. Aku merasa kesepian mas Husein selalu berusaha agar aku nyaman tinggal disini.
Rasanya baru kemarin kami menikah dan pindah menempati rumah ini, ternyata sudah 2 tahun saja.
***
"Ya Allah ya Tuhanku, apa yang harus hamba lakukan? Mentaati suami adalah kewajiban surga hamba ada padanya, tapi hati hamba terasa sakit ya Allah, kenapa ini semua terjadi? Hamba tau engkau tidak memberikan cobaan yang berat melainkan hamba itu mampu ya Allah. Tapi kenapa harus hamba ya Allah? Rasanya hamba tidak sanggup ya Allah, berilah hamba petunjukmu agar hamba bisa melewati semua ini, Aamiin ya Allah."
Saat berdo'a tak bisa ku bendung air mata ini, rasanya begitu berat. Sampai waktu ashar sekarang, mas Husein belum kunjung pulang, bahkan dia tidak menelepon ku. Apa segitu pedulinya dia sampai tidak mengabari isterinya sendiri? Kemana mas Husein berubah? Apa dia sudah tidak peduli padaku? Apa dia memang hendak bersama Kak Dian?
Setiap pertanyaan sungguh menghantui diriku, aku berusaha untuk menepis setiap pikiran yang masuk, tapi aku tidak bisa.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 17-38 Wib, aku telah selesai masak, suara mobil mas Husein belum juga kunjung terdengar.
Bagaimana sikapku nanti jika mas Husein pulang? Aku marah kesal dan kecewa padanya.
Tak lama berselang, suara mobil mas Husein terdengar, yang biasanya aku datang segera menyambut nya, kini mau melangkah untuk menemuinya aku tidak sanggup. Rasa sakit hati dia lebih memilih Kak Dian dibandingkan aku isterinya selalu tergiang diingatan ku.
Aku memilih duduk dikursi tepi jendela yang biasa ku gunakan untuk bersantai menikmati suasana luar dan mendengar suara hujan kesukaan ku.
"Assalamualaikum Humairah," ucapnya mendekatiku.
Untuk menatapnya saja aku merasa enggan, maafkan hamba ya Allah.
"Wa'alaikumussalam," jawabku menetap luar.
Rasanya ingin menangis tapi ku tahan, aku tidak boleh cengeng terus.
Mas Husein duduk kursi yang berhadapan denganku hanya diberikan jarak sebuah meja bunda kecil ditengah nya.
"Umi, apa umi masih marah?"
Apa itu sebuah pertanyaan yang pantas, wanita mana yang tidak marah? Dan apa mas Husein merasa tidak bersalah?
"Makanan sudah Umi siapkan, mandi dulu baru makan!" ucapku masih tak menatap nya. Aku bosan kalau mau berdebat lagi.
"Maafkan Abi, hari ini Deby pulang. Kasihan mereka berdua, jadi Abi yang mengurus nya dan mengantar mereka pulang."
"Apa Abi peduli Umi naik apa pulang tadi? Abi kasihan pada mereka, tapi bagaimana dengan isteri Abi?" tanyaku penuh penekanan dan memberanikan diri untuk menatapnya.
"Maaf sayang, mereka orang baru. Abi takut nanti mereka tidak tau apa-apa, Abi kasihan pada Deby, Abi peduli hanya pada Deby!" jelasnya pelan ingin memberikan ku pengertian.
"Percuma Bi, percuma Abi bertanya yang nantinya tidak akan ada ujungnya. Abi selalu memberikan alasan setiap pertanyaan yang Umi lontarkan, bukan itu yang Umi mau, bukan itu! Umi hanya butuh pengertian dari Abi, posisi perasaan seorang wanita ketika suaminya peduli pada wanita lain! Aku juga kasihan pada Deby, tapi bukan begini caranya!"
Aku lelah jika harus berdebat lagi, bahkan Allah Swt tidak menyukai perdebatan meski itu benar. Aku memilih beranjak menuju luar untuk menghirup udara segar, agar aku merasa lebih tenang, ku tinggalkan mas Husein yang tetap duduk ditempat tadi.
***
Saat berdiri menatap langit soreh, kudengar deru mobil berhenti didepan pagar rumahku. Aku menoleh untuk melihat nya, sebuah taksi.
"Siapa yang datang? Biasanya belum pernah ada yang bertamu kecuali Amira dan Rahina, tapi mustahil mereka, mereka biasanya membawa mobil."
Lalu ku lihat pintu taksi terbuka, seorang anak kecil muncul, dia adalah Deby.
"Kenapa mereka kerumahku?" tanyaku terkejut.
Bersambung...
Terimakasih atas support kalian dan selalu menunggu update selanjutnya, selalu ikutin kisah Husnah ya! Semoga pembaca Air Mata Di Cadarku selalu diberi kesehatan. Aamiin
KAMU SEDANG MEMBACA
AIR MATA DI CADARKU
Ficção GeralBertemu lalu berjodoh, tidak! Ini kisah dua insan yang berjodoh lalu bertemu. Dunia pernikahan yang disebut bahtera rumah tangga, terkadang tak selurus yang dibayangkan, ada pula lika-liku yang harus dijalani. Lama bersama, sang istri baru tahu si s...