AIR MATA DI CADARKU #13

901 28 3
                                    

Hari-hari berlalu setelah kejadian itu ketahuan olehku, mas Husein tak pernah lelah untuk meminta maaf padaku. Dia berusaha membantuku dirumah dan selalu menemani ku kemana pun aku pergi.

"Jangan menjadi cuek seperti ini sayang! Abi tidak sanggup jika Umi tidak peduli lagi," ucapnya menatapku.

"Semua sudah Umi sediakan, Umi tidak mengabaikan semua kebutuhan Abi!" jelasku.

Meski rasa sakit itu selalu datang, tapi aku tidak pernah meninggalkan kewajiban ku sebagai seorang isteri.

"Apa yang harus Abi lakukan agar Umi mau memaafkan Abi?"

"Jauhi mereka!" jawabku dengan cepat.

"A-- apa maksud Umi?"

Kenapa harus bertanya balik? Bukankah sudah jelas, apa begitu berat untuk menjauhi mereka?

"Apa Abi berpura-pura tidak tau? Jauhi Deby dan Kak Dian! Rumah tangga tidak akan berdiri jika hadirnya orang lain, Umi hanya mau ada Umi dan Abi," jelasku berusaha untuk tetap tenang.

"Bagaimana mungkin Abi bisa menjauhi Deby? Apa tak ada cara lain Humairah?" jawabnya lembut menatapku.

Jika itu hanya Deby, jika itu hanya tentang Deby, dari awal pun aku tidak akan mempersalahkan nya. Tapi ada Kak Dian.

"Abi adalah tempat sandaran Umi, jika Abi juga menjadi tempat sandaran orang lain. Lantas bagaimana cara Umi untuk berbagi?" tanyaku.

Dia menunduk terdiam, maaf Deby mungkin kau akan sedih jika mendengar ini, tapi diriku juga tak sanggup jika dia bertemu dengan Ibumu juga.

"Baiklah, Abi akan berusaha untuk sedikit menjauh," ujarnya pelan.

"Tak mengapa jika Abi ingin bertemu Deby, tapi harus mengajak Umi juga!" jelasku.

Hanya itu yang bisa aku fikirkan sekarang, mengalah dengan rasa sakitku, ini tidak akan berujung. Jika melarang dengan keras, ntah mungkin dia akan bertemu kembali dibelakang ku.

***

Hari ini mas Husein telah berangkat kerja, aku sudah minta izin untuk keluar sebelumnya. Aku ingin pergi ke toko Buku untuk membeli beberapa buah Novel yang sudah aku nantikan terbitnya.

Aku pergi sendiri menggunakan sepeda motor, memang sengaja tak memberi kabar pada Rahinna dan Amira, aku ingin pergi sendiri.

Lajuan motor yang ku bawa sedang, menghirup udara sejuk pagi hari, hiruk pikuk berbagai jenis kendaraan menemani sepi nya hatiku.

Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi kuat, mas Husein juga sudah berjanji, jika dia mau bertemu Deby, dia akan mengajakku. Jadi hatiku sudah sedikit tenang, yah hanya sedikit selebihnya selalu membuatku kalut dalam kesedihan.

"Astaghfirullah!" ucapku terkejut.

Ada seorang pemotor kecelakaan tepat dihadapanku, aku menepikan motorku lalu pergi melihat keadaan.

"Apakah sudah menelepon ambulan?" tanyaku.

"Sudah mbak!" jawab salah satu dari mereka.

Aku menginjak sebuah gelang, pasti ini milik si peseda motor yang kecelakaan. Setelah mengambil gelangnya, ku rasa gelang ini tidak asing.

"Rahinna! Rahii!"

Ternyata benar, dia Rahinna sahabatku. Jantungku berdebar tak karuan, seolah bayangan terlintas dibenakku, kecelakaan Ibu yang membuatku trauma 2 tahun.

Aku memeluk Rahinna yang sudah terpejam.

"Rahii, kamu harus kuat. Sebentar lagi ambulan akan datang!" ucapku padanya.

Tak lama ambulan datang, aku juga ikut, tak ku fikirkan lagi keberadaan motorku. Didalam mobil tak hentinya aku berdoa untuk keselamatan sahabatku.

Saat sampai di Rumah Sakit, mereka membawa Rahinna ke UGD. Aku mengabari Amira dan juga mas Husein.

Dalam suaraku yang gemetar aku meminta mas Husein datang, aku tak bisa mengesampingkan rasa cemas dan takut saat Ibu kecelakaan. Aku tau mas Husein akan segera datang.

"Bukankah itu mas Husein?" Tanyaku pada diriku sendiri.

Seseorang yang tak asing dalam hidupku, dia sedang menggendong seorang anak dan wanita lain berjalan dibelakang nya.

"ABI!" panggilku.

Dia berbalik, aku tak kuat lagi menopang tubuh ku sendiri dan semua terasa gelap.

"Umi," panggilnya.

Suara itu sepintas terdengar di telingaku, sebelum semuanya menghilang.

Bersambung . . . .

AIR MATA DI CADARKU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang