• NEW OFFICE •

670 51 16
                                    

     "Tolong- Jangan bunuh saya-" Dengan susah payah, kalimat demi kalimat itu terlontar dari mulut seorang wanita yang sudah tak berdaya, dengan tubuh pasrah beralaskan rerumputan kering, serta nafas yang tinggal satu-satu.

     Lehernya tercekat, tertahan sepasang tangan besar yang sekitar 5 menit sudah mencengkeram erat di sana, mencoba menutup jalan pernafasannya. Airmatanya juga sudah mengering, menyisakan bekas-bekas frustasi di wajahnya yang sudah tak karuan.

     Wanita muda itu tak bisa melihat siapa orang yang sudah menduduki perutnya itu. Gelap. Apa yang bisa ia harapkan dari padang rumput tinggi yang sedikitpun tak bercahaya ini? Hanya redupnya temaram bulan yang menyinari keduanya saat itu. Yang ia tahu dan sadari, lelaki itu pasti akan mengambil nyawanya. Cepat atau lambat.

     Kaki yang tadinya meronta kuat, kini sudah lemas tanpa gerak, diikuti pandangan yang semakin lama semakin buram. Paru-parunya terasa terbakar akibat minimnya asupan oksigen yang mengalir di sana. Jantungnya berdebar lebih cepat, memukul-mukul dadanya hingga sakit terasa. Aliran darahnya seakan memompa lebih giat, menyalurkan sisa-sisa oksigen dalam darah yang mungkin masih bisa menyelamatkan nyawa sang pemilik raga.

     Sayangnya, kekuatan tangan itu lebih besar dari pada pertahanan wanita malang tersebut. Dengan sekali lagi cengkeraman kuat yang menusuk rongga tenggorokan, tubuh wanita itu menegang, matanya melotot ke atas, suaranya sudah tak bisa lagi terdengar. Dan dalam hitungan detik, tubuh malang itu kembali melemas. Kali ini dengan nyawa yang sudah meninggalkan jasadnya.

*******

     Pergantian siang dan malam terasa amat cepat. Seperti baru kemarin Lenna berpergian keliling dunia untuk 'menemani' perampok ulung yang mengincar rumah-rumah para bangsawan, kini ia sudah tidur di atas kasurnya sendiri, di rumah yang ia tinggal selama 2 tahun kemarin. Untung saja mbok Yanti masih sering datang mengunjungi rumahnya untuk dibersihkan sekali-kali. Jika tidak, mungkin rumah itu sudah berpindah ke tangan para hantu.

     Kalau saja teleponnya tidak berdering ratusan kali, mungkin ia masih menutup matanya dan bermimpi tentang menangkap seorang psychopath yang sudah ia idam-idamkan.

     Seniornya, Yunhyeong, yang juga menjadi ketua timnya kali ini, memaksanya untuk bangun dan bersiap dengan seragamnya. "Iya, iya. 30 menit lagi aku berangkat." Lenna hanya menjawab seperti itu, lalu bangkit dari tidurnya.

     Kali ini, Lenna tak hanya bisa bermimpi, namun juga harus mewujudkannya.

     Belum selesai dengan kegiatan sarapannya, suara klakson mobil sudah ribut di depan rumah Lenna, dan lagi-lagi memaksanya untuk menengok keluar. Masih pagi begini rasanya telinga Lenna sudah penuh dengan suara bising yang mengganggu. Bikin pusing saja.

     "Lenna Adira!" Nama lengkapnya yang sudah lama tak ia dengar itu, keluar dari bibir seseorang yang berada di depan kemudi. Lelaki yang sama dengan yang membangunkannya tadi via telepon.

     "Ini hari pertamamu bekerja kembali, dengan kantor yang baru, dan kamu masih malas-malasan? Saya sudah di kantor sejak pukul 6 pagi, kamu tau?" Bentakan yang terdengar bercanda itu hanya ditanggapi dengan sinis oleh Lenna.

     "Maaf ya, pak Yuno yang terhormat. Saya bukannya 'bekerja kembali' seperti yang anda ucapkan tadi. 2 tahun gak di kantor, saya juga lagi kerja, tau!" Bukan Lenna namanya jika tidak membalas lawan bicaranya dengan nada yang lebih kejam. Apalagi jika ia berada di sisi yang benar, siap-siap saja sakit hati dengan ucapannya.

• AMYGDALA ERRORED •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang