Kali ini Mark benar-benar memaksa Yeona untuk pulang. Ia mengerti perasaan sedih dan bersalah Yeona. Pasti sulit baginya untuk meninggalkan Jaehyun karena perasaan itu. Tapi, Yoonoh juga membutuhkannya.
Anak itu juga tengah dirundung kesedihan karena pernyataan Johnny beberapa waktu lalu yang menyinggung statusnya sebagai anak. Untuk ukuran anak usia lima tahun, hal itu tentu saja sangat mengganggunya. Apalagi Yoonoh sangat menyayangi Johnny sebagai seorang ayah.
Walaupun dalam situasi yang berat, Yeona harus tetap bisa menjadi seorang ibu yang berada selalu di samping anaknya. Menenangkan dan terlihat kuat.
Malam setelah ia dan Irene diwawancara oleh polisi, Yeona pulang ke rumah Boa. Ia mengistirahatkan dirinya dan pikirannya yang masih berkecamuk. Belum lagi, ia harus terus mengawasi ibunya yang belum boleh lepas dari obat serta Yoonoh yang terkadang menjadi murung tiba-tiba.
Belum lagi, ia juga harus menjadi sosok yang tegar ketika menjelaskan kondisi Jaehyun pada Gaeun. Sebenarnya berat baginya untuk terlihat baik-baik saja di depan Gaeun. Ia terus berkata bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan, padahal dalam hati ia tidak bisa menghilangkan perasaan itu.
Keesokan harinya, pukul 12 siang, Yeona kembali datang ke rumah sakit. Ia membawakan pengharum ruangan. Sebelumnya, ia berpikir untuk membeli bunga agar bisa dijadikan sebagai hiasan. Namun, mengingat bunga adalah penyebab tragedi ini, ia urung membelinya dan lebih memilih pengharum ruangan.
Yeona duduk di kursi samping kasur Jaehyun. Pagi tadi, Mark mengabarinya jika Jaehyun sudah bisa pindah di kamar rawat inap. Kondisi Jaehyun saat ini masih lemah dengan perban yang melilit tangan kanannya dan luka di wajahnya yang mulai mengering.
Tangan gadis itu mengusap pelan kepala Jaehyun yang juga dibalut oleh kasa. Pipi yang biasanya menampilkan lesung pipi kesukaannya menampilkan bekas goresan aspal.
"Jaehyun, kapan kau sadar? Kau bilang kau akan hati-hati di jalan, kenapa kau malah mengingkarinya?" lirihnya, bermonolog. Jemarinya bergerak lembut menyusuri hidung bangir milik Jaehyun dan berhenti menangkup pipi kirinya yang tidak terluka.
Ia menunduk dalam, tak berani menatap wajah Jaehyun yang masih tak sadarkan diri. Pandangannya kian buram ketika air mata mulai memenuhi pelupuk matanya.
Perasaan bersalah yang semula sudah mereda akibat Mark kini kembali meningkat. Seandainya ia tidak memilih hidup seperti ini, mungkin ia tidak akan pernah mengalami kesedihan berlarut-larut seperti ini.
Semua terasa beruntun. Belum reda kesedihan dan penyesalan yang lalu, ia sudah dibuat semakin sedih dan menyesal oleh tragedi lainnya.
Seolah ia benar-benar menjadi permainan takdir.
Yeona membersit hidungnya keras. Ia menghapus kasar air matanya dengan punggung tangannya kemudian kembali menatap wajah Jaehyun. "Bukan kah kau bilang ingin membantu mewujudkan mimpiku? Jaehyun, bangun. Aku belum sempat menjawab izinmu. Aku mengizinkanmu. Kau boleh mencintaiku lagi, Jaehyun."
Isakannya kian keras ketika tidak ada respon apapun dari Jaehyun. Ia mengubur wajahnya di ranjang yang ditempati oleh Jaehyun. Membiarkan sprei putih itu basah oleh air matanya.
"Please, Jaehyun. Bangun."
Raungannya berhenti ketika tiba-tiba ia merasakan kepalanya diusap dengan gerakan lemah. Ia menahan napasnya ketika mengangkat wajahnya dari ranjang.
Kedua mata Jaehyun terbuka separuh. Sesekali mengedip lambat seolah tengah memfokuskan pandangannya.
"Jaehyun? Kau mendengarku? Kau bisa melihatku?" tanya Yeona antusias. Ia menggenggam tangan kiri Jaehyun yang tadi mengusap kepalanya, mengecupnya cepat kemudian menempelkannya di pipinya. "Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Jangan seperti ini lagi. Aku tidak suka."
KAMU SEDANG MEMBACA
REMINISCENCE - Jung Jaehyun✔
Fanfiction[Finished - Bahasa Baku] -a sequel of (UN)BROKEN VOWS ⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️ Sebelum membaca REMINISCENCE sangat disarankan untuk membaca (UN)BROKEN VOWS terlebih dahulu ⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️ Jangan kira semuanya telah berakhir dengan perpisahan. Jaehyun dan Y...