"Jimin masih belum keluar dari kamarnya?" ulang Jiwoo setelah mendengar laporan Bibi Song. Jiwoo lantas menghela nafas setelah wanita berusia 32 tahun itu mengangguk sopan, mencoba memaklumi sikap Jimin yang sejak pulang sekolah tadi masih belum menampakkan diri.
"Jadi, dia belum makan sedari tadi?" tanyanya yang lagi-lagi mendapat anggukan dari Bibi Song.
Jiwoo kemudian mengambil alih nampan berisi segelas air putih dan semangkuk Samgyetang yang baru dipanaskan. Makanan itu seharusnya sudah dihabiskan oleh Jimin sejak pukul 8 malam tadi. "Kalau begitu biar saya saja," ujarnya sebelum menghampiri kamar putranya.
Suara ketukan yang berasal dari bertemunya buku jari Jiwoo dengan permukaan pintu itu mengudara tatkala Bibi Song meninggalkan tempat dan pergi menuju dapur. "Jimin-ah, buka pintunya," titah Jiwoo.
Hening. Tak ada sahutan apapun. Pintu itu juga masih tertutup rapat. Mau tak mau membuat Jiwoo harus menegaskan kembali titahnya. "Jimin, apa kau akan membiarkan Ayah terus berdiri disini? Kau ingin Ayah mendobrak pintu?"
Sesaat kemudian, pintu itu masih tak kunjung terbuka. Namun terdengar suara kunci yang diputar. Jiwoo lantas melangkah masuk ke dalam kamar putranya tersebut setelah berhasil menyibak pintu kamar Jimin.
Jimin tampak tak bergeming. Ia tak bergerak sedikit pun dari posisi duduknya dengan kepala menunduk. Bahunya terlihat lesu dan penuh keputus asaan. Jiwoo menghela nafas singkat sebelum meletakkan nampan yang dipegangnya di nakas dekat tempat tidur Jimin, kemudian duduk di samping putra sulungnya tersebut.
1 detik setelahnya, Jimin tiba-tiba terisak. "Maafkan aku, Ayah," ucapnya parau. Ia terlihat mencoba untuk menahan isakannya sekeras mungkin. "Maaf karena tiba-tiba menjadi lemah. Aku juga tidak ingin seperti ini. Tapi ini benar-benar sulit untukku," tambahnya dengan suara yang terdengar semakin sumbang dan sendu.
Jimin buru-buru mengusap pipinya ketika setetes air mata jatuh sebelum berujar, "Aku sudah berusaha. Aku berusaha dengan sangat keras untuk tidak menyukainya lagi. Ini perasaanku, tapi aku sendiri tidak bisa mengendalikannya. Apa itu akan lebih baik jika aku saja yang mati?"
"Hentikan omong kosongmu. Ayah tidak pernah mengajarkanmu untuk menyerah seperti itu," sambar Jiwoo tak terima. "Kita sudah berusaha untuk tetap bertahan sampai detik ini. Jangan buat semua usaha itu sia-sia, Jimin-ah."
"Selama ini kita berhasil melewati masa-masa sulit yang terjadi. Bagaimana bisa kau menyerah hanya untuk hal kecil seperti ini?" lanjutnya.
"Seperti yang Ayah bilang, Ayah tidak akan memaksamu untuk berhenti menyukainya. Jadi jangan menyerah dan lanjutkan misimu sebagaimana biasanya," tukas pria itu sebelum beranjak dan mengambil langkah pergi.
"Bagaimana bisa aku membunuhnya jika aku menyukainya??" Suara gertakan Jimin seketika menghentikan langkah itu.
Jiwoo membalikkan badannya dan menatap sang putra tajam. "Jadi, kau lebih ingin mempertahankannya dari pada hidup Ayah?"
"Saekki-ya, kau yakin gadis itu juga akan melakukan hal yang sama padamu?" Jiwoo menepuk-nepuk dadanya sendiri. "Ayah sudah pernah merasakannya. Wanita hanya ingin hartamu. Bukan dirimu. Jadi berhenti bersikap bodoh dan membuatmu menyesali semua nantinya," tegasnya tajam, kemudian benar-benar pergi dari kamar Jimin.
Jimin menghela nafas kasar bersamaan dengan suara debum pintu kamarnya terdengar. Pikirannya semakin kacau.
Benar. Memang pada awalnya Jimin juga berpikir hal yang sama dengan ayahnya. Jangan heran, sejak ibunya pergi dengan membawa seluruh uang gaji Jiwoo, ayah dan anak itu menjadi tak pernah percaya lagi dengan perempuan. Keduanya melalui hidup dengan pemikiran seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Target [Park Jimin]
FanfictionEunji tidak pernah tertarik untuk membuat kisah cinta semasa sekolah seperti gadis lain. Apalagi jika itu dengan Park Jimin, murid baru yang diam-diam menjadikan Eunji target balas dendam seseorang. "Apa sih maumu? Kenapa terus menggangguku?" "Mauku...