18 | Senyum menepis getir

147 28 11
                                    

Seminggu yang akan datang adalah waktu dimana hari yang paling Dhea nantikan. Ujian tengah semester. Papanya berjanji, jika nilainya naik dari biasanya, mobilnya akan dikembalikan sehari setelah pembagian hasil ujian. Ia sangat yakin bahwa nilai yang akan dia dapatkan akan sesuai dengan ekspektasi sang papa.

Dhea mengerjakan soal-soal di depannya dengan tekun. Tidak seperti yang pernah Arvin duga, gadis itu bukan tipe oeang yang susah untuk diajarkan, Dhea justru cepat sekali mengerti dengan penjelasaannya.

Sementara mereka berdua belajar di ruang tamu, Ina kini memasak soto ayam kesukaan gadis itu di dapur. Sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan anak dari temannya ini, sekalinya bertemu ia tidak menduga bahwa Levita yang ia kenal sewaktu kecil kini menjadi gadis cantik nan ramah.

Ina mengambil satu sendok dari rak piring, kemudian merasakan soto yang masih bertengger di atas kompor. Lidahnya ia kecap berusaha merasakan apakah bumbu yang ia letakkan sudah pas atau belum kemudian memindahkan isinya ke dalam mangkuk.

Setelah sekian lama, ini adalah pertama kalinya gadis itu makan di rumahnya lagi. Jadi, ia harus memasak dengan enak. Tidak hanya soto ayam, ia juga membuat perkedel kesukaan kedua anak itu.

Ia meletakan makanan itu di atas meja, kemudian bersuara. "Istirahat dulu, ayo makan!" Ina tersenyum ke arah Dhea ketika gadis itu mendongak.

"Bentar Tante ... nanggung, nih!" Gadis itu kembali mengerjakan soal-soal di atas meja. Namun, beberapa detik kemudian tanganya ditahan oleh cowok di sebelahnya.

"Makan dulu," kata Arvin setelah gadis itu menekuk bibir sebal, lalu menarik tubuh Dhea berdiri.

Dhea memenyunkan bibir. "Nanggung banget ...," katanya. Namun, matanya melebar saat indera penciumannya menangkap wangi soto ayam yang ada di atas meja makan. Ia melapaskan tangan Arvin yang masih di dalam genggaman, lalu berjalan cepat menuju tempat soto itu berada.

Cowok itu terkekeh kecil.

"Makasih, Tan," kata Dhea saat Ina memberikan semangkuk soto ayam padanya.

"Makasihnya ke nyokap doang, nih? Ke gue enggak?" suara Arvin terdengar saat tubuh cowok itu menduduki bangku di sebelah Dhea.

Gadis itu melirik Arvin sekilas dan memilih mengabaikan ucapan itu, karena menurutnya soto ayam ini lebih menarik untuk di santap dibandingkan menjawab pertanyaan itu.

Di meja bundar itu, tiga orang di sana sedang asik memakan makanan di atas meja sembari mengobrol kecil. Obrolan itu hanya seputar sekolah, dan kejadian-kejadian yang terjadi saat mereka bertemu. Namun, diantara ketiganya, Dhea-lah yang paling tidak tertarik dengan orolan itu. selain karena soto ayam yang menarik perhatiannya, ia juga tahu bahwa setelah ini Ina akan menanyakan perihal keluarganya. Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab.

"Levita," panggil Ina saat gadis itu tidak menjawab beberapa pertanyaan yang ia ajukan. "Gimana kabar ibu kamu?"

Gadis itu menahan napasnya, sedih tiba-tiba hadir membuat segumpal air menggenang di pelupuk mata. Rupanya, pertanyaan itu sudah diajukan saat ia sibuk dengan pikirannya tadi.

Ia menarik napas dalam-dalam sebelum bersuara, "panggil Dhea aja, Tan." Setelah mengucapkan itu, ada senyum menepis getir yang hadir di wajahnya.

Baik Ina maupun Arvin dapat menangkap jelas getaran dalam suara itu meski sekilas. Ina mengerti, kalimatnya menyinggung luka di hati gadis itu, meskipun ia tidak tahu apa yang terjadi dengan tetangganya itu sekarang.

Apapun itu, semoga gadis ini baik-baik saja.

****

"Vin, jangan pulang ke rumah gue dulu, ya."

Arvin mengerutkan dahi samar saat suara itu terdengar, padahal sebentar lagi mereka sampai k erumah gadis itu.

"Mau kemana?"

"Ke rumah Ibu," jawab gadis itu singkat.

Tidak butuh waktu lama untk Arvin mengerti bahwa gadis ini akan menceritakan masalahnya. Sebenarnya ia sering bertanya-tanya saat tidak melihat wanita paruh baya yang dulu sering membelikan dirinya dan Dhea mainan, ia justru melihat wanita lain yang menjadi pasangan dari Irawan.

Ia ingin bertanya, tetapi ia tahu bahwa waktunya sangat tidak tepat. Apalagi waktu itu Dhea sedang benci dengannya.

"Belok kiri," kata Dhea, membuat kesadaran Arvin kembali.

Hanya lima puluh meter jarak yang mereka tempuh dari depan gang menuju rumah yang Dhea katakan. Seketika, ingatannya kembali ketika pagi itu, saat ia melihat wanita paruh baya yang ia kenal sedang duduk di teras rumah.

Wanita itu memang mirip dengan ibu kandung Dhea, tetapi terlihat menua dengan keriput di wajahnya.

Dhea turun dari vespa abu-abu itu, lalu berdiri di hadapan Arvin. "Sebelum masuk, lo harus janji satu hal," ucapnya dengan ekspresi datar. Setelah cowok itu mengangguk, ia melanjutkan kalimatnya. "Jangan pernah lo kasi tau siapapun soal ibu gue."

Cowok itu tersenyum tipis. "Enggak akan."

Jika biasanya Arvin adalah orang yang paling tidak ia percaya, tetapi tidak untuk sekarang. Ia percaya, bahwa cowok ini tidak akan melakukan hal yang tidak ia duga. Hal-hal yang justru mengembalikan kebenciannya pada Arvin. ia tidak ingin membenci cowok yang menghadirkan kehangatan di dadanya.

Setelah mengetuk pintu itu beberapa kali, benda itu terbuka menghadirkan Tiara di sana. Awalnya, Tiara menyambuut Dhea dengan senang hati sebelum senyum di bibirnya memudar saat menyadari keberadaan cowok di sebelah Dhea.

"Dia teman gue." Dhea menjeda sebentar. "Ibu udah tidur?"

Tiara menggeleng. "Belum. Ibu lagi aku siapin makan."

"Biar gue aja yang suapin."

Tiara mengangguk kemudian memperdilahkan du aorang itu untuk masuk. Ia cukup bingung saat menyadari Dhea membawa temannya ke rumah ini. yang ia tahu, Dhea tidak ingin orang lain mengetahui kondisi ibunya sejak kejadian itu, apalagi sampai membawa orang lain ke rumah ini.

****

Di sebuah rumah kecil dengan dinding berlapis papan, Billy meletakkan gelas itu cukup kuat di atas meja, hingga beberapa orang yang sedang bermain kartu domino melirik ke arahnya. Tak perlu bertanya untuk tahu apa penyebab perlakuan itu, mereka sudah cukup hafal dengan masalah yang Billy hadapi.

Masalah itu juga tidak jauh dari diri mereka. Keluarga.

Mereka tahu masalah satu sama lain, memahami perasaan sakit yang sama. Namun, tidak bisa mengobati satu sama lain. Yang mereka lakukan adalah mencari hal-hal diluar batas agar menemukan kata 'tenang'.

Mereka sudah terbiasa mencium aroma minuman keras di gubuk itu, pun mengkonsumsi obat-obat terlarang. Hanya itu yang mereka lakukan setiap hari. Tidak semua dari mereka berasal dari keluarga kaya raya seperti Billy. jadi, mereka kan mengamen disaat hari terang dan mencari menenang saat langit sudah gelap.

Untuk orang-orang seperti mereka, hidupnya adalah seperti ini, mencari penenang dengan cara yang jauh dari kata pantas.

"Dhea lagi?" tanya Diko saat menyadari raut kesal Billy. "Cewek kayak dia nggak perlu lo kasi peringatan. Kenapa nggak lo tidurin aja?"

Di sebelahnya, cowok itu berdecak. Seandainya Rasty tidak memohon agar ia tidak melakukan apapun terhadap Dhea, ia pastikan cewek itu sudah rusak saat itu juga.

"Rasty ngelarang gue ngelakuin itu." Billy mengambil sebatang roko dari atas meja itu, lalu membakarnya.

"Ribet, ya, kalo udah cinta." Hembusan napas terdengar dari Diko. "Atau lo butuh bantuan gue buat ngasi pelajaran ke Dhea?"

Billy menoleh, kemudian diam cukup lama. Jika Diko yang memberi gadis itu pelajaran, Rasty tidak akan marah padanya. Jadi, ia tidak punya alasan untuk menolak tawaran itu.

A/N:
Makasih buat yang udah baca TMA sampe sini.

Semoga betah sampe akhir ya!

Take Me AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang