Burung-burung baru ingin bergerak mencari makanan, dan matahari juga baru ingin bergerak menuju istana langit, sinarnya yang teduh membuat pagi terasa menyenangkan. Namun, ada hal yang membuat Arvin tidak merasakan kenyamanan pagi ini. yaitu, terjebak macat.
Arvin berdecak dan berulang kali melihat jam tangannya, pasalnya sebentar lagi bel sekolahnya akan berbunyi. Padahal, ia sudah sangat dekat dengan sekolah. Tidak seperti biasanya jalanan ini macat.
Matanya menyapu ke sekitar mencari jalan keluar dari sini, sesaat, matanya berbinar saat menemukan sebuah gang kecil yang mungkin saja bisa dijadikan jalan pintas menuju sekolah. Ia segera bergerak menuju tempat itu.
Gang itu sempit, hanya bisa di lalui satu kendaraan beroda dua saja. Lagipula, tempat itu hanya diapit oleh dua tembok tinggi sebelum menemukan satu rumah yang di depannya terlihat satu wanita paruh baya dengan rambut acak-acakan dan tatapan mata yang kosong, airmatanya terus mengalir meskipun wanita itu menampilkan wajah datar tanpa ekspreksi.
Arvin sempat berfikir sebentar, ia seperti mengenal wanita itu. Tetapi itu tak bertahan lama karna dia harus memikirkan agar cepat sampai di sekolah.
Setelah memarkirkan vespa berwarna abu-abu terang miliknya, ia menyipitkan mata demi melihat seseorang yang di tarik Dhea ke toilet. Saat terlihat jelas ia berjalan dengan cepat mendatangi cewek itu.
"Udah gue bilang 'kan jangan pernah nyari masalah sama gue!"
Suara itu terdengar dari dalam toilet wanita, sementara Arvin berdiri di luar demi menunggu cewek itu beranjak dari sana.
"Ngapain lo bilang ke Billy kalo gue ngelabrak lo kemarin? Lo tau, Billy marah besar ke gue!"
Arvin tak mendengar suara dari Rasty. Setelah Dhea mengatakan itu, suara air terdengar mengguyur tubuh Rasty. Arvin menggeram karna tidak bisa melakukan apapun kali ini.
Tak lama, Tiga orang yang tadi menarik Rasty akhirnya keluar. Dhea sempat terkejut saat mendapati laki-laki itu di depan pintu. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya sudah lebih dulu dicekal oleh Arvin.
"Lepas!"
Arvin diam.
"Apaan sih, lepas nggak?"
"Levita!" Hanya itu yang di ucapkan, tetapi cukup berefek pada Dhea. Mata cewek itu seketika meneduh, ia terdiam menatap Arvin yang melihatnya datar, ia seolah masuk ke dalam mata hitam pekat milik Arvin.
Ingatan-ingatan tentang masa kecil mereka berputar di ingatan Dhea. Ia sadar bahwa teman semasa kecilnya itu ada di depannya saat ini.
Sahabat masa kecil yang selalu menemaninya kala itu.
"Lepasin Dhea nggak? Lo mau jadi pahlawan kesiangan?" Suara Erika berhasil menyadarkan Dhea kembali. Menariknya kembali dari tatapan teduh cowok itu yang hampir saja membuatnya tenggelam.
Dhea melepaskan genggaman tangan itu dengan susah. Lalu setelahnya, ia beranjak meninggalkan Arvin masih dengan ekspreksi yang sama.
Sementara di dalam sana, Rasty sudah duduk meringkuk bersandar dengan tembok. Tubuhnya sudah basah, begitupun dengan rambutnya. Ia terisak, sedih rasanya disalahkan saat ia tak pernah melakukan apapun.
"Rasty!" Dari luar sana, Arvin memanggil.
Dengan cepat ia berlari menuju tempat Arvin berada. Ia mengelap airmatanya saat sampai di depan cowok itu. "Lo nggak apa-apa?" tanya Arvin penasaran.
Rasty menggeleng. "Gue nggak apa-apa, kok."
Arvin menghela nafas, lalu kembali bersuara stelah teringat dengan apa yang Dhea katakan tadi."Lo ngadu ke Billy?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me Away
Teen FictionAku harap kalian nggak akan kecewa dengan kisah ini. Ini bukan tentangnya yang kutu buku lalu dibully. Ini bukan tentangnya yang introvert yang mendapatkan pacar si idola sekolah. Apalagi tentang dia yang ekstrovert dan mengejar cinta manusia batu. ...