6 | Yang paling dibenci

406 139 176
                                    

Jika biasanya para murid akan langsung pulang ke rumah ketika bel pulang berbunyi, itu tidak akan berlaku untuk Arvin dan kawan-kawan. Sebab, mereka lebih sering berkumpul di rumah Arvin terlebih dulu sampai senja menyambut langit.

Saat ini mereka sedang duduk di sofa ruang tamu, membahas apa yang dikatakan Bu Kasih tadi. Sebenarnya, Anin sangat malas membahas ini, entah karena apa segala sesuatu yang berhubungan dengan Dhea benar-benar membuatnya tidak suka.

"Jadi gimana? Kalian terima tawaran Bu Kasih?"

Pertanyaan Bagas membuat Anin menghela nafas kasar. Jika bukan karena perintah Pak Irawan, ia tidak akan pernah mau menerima monster itu. "Terpaksa!" ia menyandarkan bahunya ke sofa yang ada di ruang tamu Arvin.

Tak seperti Bagas yang terlihat biasa saja, Rasty justru melebarkan mata dengan ucapan Anin barusan. "Serius?"

"Tenang, gue cuma jadiin dia bansur," kata Arvin sambil membawa minuman yang ia siapkan dari dapur.

Mendengar itu, Rasty berdecak. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran teman-temannya. "Bukan itu masalahnya. Kalian tau, 'kan kalo dia itu anti banget sama gue?"

"Enggak akan ada apa-apa, Rasty. Udah, deh, jangan bikin gue pusing lagi karna mikirin dia." Anin berusaha meyakinkan temannya itu, meskipun ia sendiri tidak yakin jika Dhea tidak akan berulah lagi.

Bagas meneguk minuman di depannya kemudian menatap Rasty yakin. "Yang penting, lo jangan jauh-jauh dari kita bertiga. Apapun yang terjadi."

Rasty menghela napas, meskipun teman-temannya melindungi, itu tidak menjamin dirinya terbebas dari Dhea. Awalnya ia tidak takut sama sekali, tetapi saat teringat bahwa gadis itu rela melakukan apapun kepada korbannya, ia mengurung kembali keberaniannya.

Bagaimana mungkin ia bisa melawan gadis yang tidak memiliki hati itu?

Ia ikut menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, menatap nanar plafon rumah Arvin yang berwarna putih tulang. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa tahun lalu, kejadian yang membuat dunianya hancur seketika.

Kejadian yang hanya ia dan Billy tutupi serapi mungkin.

"Gue bingung dari mana Pak Irawan bisa tau kelakuan anaknya."

Suara Bagas menyadarkan Rasty dari lamunan. "Lah, bukannya kalian yang ngasi tau Pak Irawan?"

Arvin menggeleng cepat. "Enggak."

"Terus siapa?" tanya Rasty penasaran.

Anin berdecak. "Udah, ah, pusing gue mikirin dia terus. Beli makanan, yuk! Laper gue."

"Di lemari ada Ifu mie, mau tante masakin?"

Suara wanita paruh baya itu membuat mereka menoleh. Ina; ibu Arvin yang tadinya ingin pergi ke warung, berhenti saat mendengar percakapan mereka.

"Enggak usah, Tan, kita aja yang masak," jawab Anin seketika dengan deretan gigi yang ia tampilkan.

"Yakin? Emang kamu bisa masak?" tanya Ina.

Bagas tertawa sebelum menjawab ucapan Ina. "Bisa, Tan, bisa gosong kalo Anin yang masak."

Anin melempar bantal ke arah Bagas. "Enak aja, lo!"

Ina tersenyum sebentar. "Ya udah, nanti Tante masakin. Tante mau ke warung sebentar."

"Aku bantuin ya, Tan," kata Rasty.

Ina mengangguk. "Boleh."

Melihat ibunya bergerak, Arvin sontak berdiri dan mengambil kunci motor miliknya. "Ya udah aku anter."

Take Me AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang