19 | Yang terpendam.

142 21 6
                                    

Sudah hampir seminggu untuk Anin menyadari bahwa gadis monster itu sudah benar-benar berubah berkat sahabatnya—Arvin. Seharusnya ia senang saat melihat itu, tetapi ternyata rasa nyeri yang hadir di hatinya setiap kali melihat kedekatan mereka berdua. Tak bisa dipungkiri bahwa Arvin tidak lagi memiliki banyak waktu untuk sekedar berkumpul menikmati satu cup Pop Ice di kantin seperti biasanya.

Matanya menyipit, mengikuti pergerakan tubuh orang di depan sana dengan senyum tipis di bibirnya. Saat ini mereka sedang melakukan rapat untuk Skylight Festival yang akan dilakukan sebulan mendatang. Persiapan mereka setidaknya sudah 85%.

"Berarti kita udah di tahap persiapan." Arvin berjalan menuju meja di depan kelas kemudain mengambil selebaran kertas berisi list tugas yang sudah ia petakan. Cowok itu berbalik lalu menatap Bagas sebagai kepala divisi publikasi dan dokumentasi. "Kalian udah tentukan desain untuk poster dan sebagainya?"

"Gue, Diki dan Dasha udah desain untuk poster dan leaflet, tiket masih belum, Vin." Bagas menerangkan.

Cowok itu mengangguk. "Oke. Gue kasi waktu tiga hari untuk selesain desain tiket."

Setelah Bagas mengangguk, ia beralih menatap Dhea."Setelah ini gue minta Dhea buat bantu seksi dekorasi dan bantu seksi dokumentasi saat acara."

Dhea mengangguk. "Siap." Banyak yang telah berubah darinya, mulai menjadi penurut hingga tidak lagi marah-marah pada siswi SMA Skylight. Dhea bahkan jauh dari sifatnya yang suka semena-mena di sekolah milik sang papa, kekuasaan tertinggi itu tidak lagi digunakan untuk melakukan hal-hal keji.

Rasty mengangkat tangannya, ingin mengajukan sebuah pertanyaan. "Berarti Dhea bantuin mulai dari belanja dekorasi?"

Cowok itu lagi-lagi emngangguk. "Iya, nanti Dhea bareng sama lo. Sama yang lain juga."

Mendengar jawaban Arvin, gadis itu menelan salivanya sendiri. Ia memang tahu bahwa Dhea sudah berubah dan tidak lagi melakukan aksi bullying. Namun, tidak menutup kemungkinan aksi itu terjadi lagi ketika ada kesempatan.

"Ada pertanyaan lagi? Kalau ngak ada, gue tutup rapat hari ini." Ia menjeda beberapa saat berharap ada satu pertanyaan yang diajukan. Namun, beberapa puluh detik berlalu, ruangan itu masih hening, Arvin memilih menutup rapat hari ini dan mempersilahkan mereka untuk keluar ruangan.

Sementara dirinya, merapikan beberapa dokumen di atas meja.

Beberapa menit setelahnya, ruangan itu mulai sepi, hanya tersisa beberapa orang di dalamnya. Anin berdiri dari duduknya, ingin mengajak cowok itu untuk berkumpul seperti biasa di ruamhnya. Sebelumnya, ia juga melirik Bagas dan Rasty yang masih duduk pada meja masih-masing dengan ponsel di tangannya.

"Vin," panggil Anin setelah berdiri tepat di sebelah cowok itu. "Lo bisa ikut kumpul di rumah gue? Bagas sama Rasty mau ke rumah gu—"

"Nggak bisa," potong Dhea.

Baik Anin maupun Arvin kini menoleh ke belakang saat mendengar suara Dhea. Gadis itu sekarang berdiri dengan bersedekah dada. Dua orang itu menangkap jelas tatapan tidak suka yang Dhea berikan untuk Anin saat ini.

Anin membalas tatapan itu dengan ekspresi yang sama. "Gue nggak nanya sama lo!"

"Ujian semester tinggal seminggu lagi, Arvin nggak punya waktu selain ngajarin gue." Dhea mengalihkan pandangannya ke arah Arvin, dengan posisi tubuh yang belum berubah. "Iya, 'kan?" katanya dengan alis terangkat.

Cowok itu mengangguk pelan, lalu menoleh ke Anin. "Sorry, next time gue ikut, deh."

Belum sempat gadis itu menjawab, tangan cowok itu sudah ditarik oleh Dhea ke luar kelas. Seperti yang ia duga, banyak yang akan berubah setelah salah satu dari mereka jatuh cinta. Jika saja perasaan ini tidak tumbuh setiap kali melihat sikap perhatian Arvin padanya, ia tidak akan merasakan sakit saat melihat cowok itu menjauh dengan gadis yang paling ia benci.

****

Semenjak mereka meminta gadis berambut pendek itu tidak mengajak mereka melakukan aksi bullying lagi, mereka pikir, Dhea akan tetap menjadi teman mereka. Namun, ternyata dugaan itu salah. Dhea tidak lagi pergi ke kantin bersama Vera dan Erika, tidak ke mall bersama dan tidak lagi menghamburkan uang dengan mereka.

Saat ini Dhea selalu membututi kemanapun Arvin pergi.

Erika melihat dua orang itu dengan senyum tipis di bibirnya. Dhea dan Arvin sedang berjalan beriringan menuju parkiran sekolah. Entah apa yang mereka obrolan, tetapi Erika dalam menangkap jelas kebahagiaan yang terpancar. Dhea yang mereka kenal tak lagi ada dalam orang itu.

Yang biasanya mereka lihat dari Dhea adalah senyum licik setelah berhasil menaklukan korbannya, bukan senyum tulus penuh kebahagiaan seperti yang mereka lihat saat ini. Dhea kini berubah. Bukan, bukan, Dhea tidak berubah, melainkan kembali menjadi dirinya sendiri.

Ia sangat tahu bagaimana Dhea yang dulu. Bahkan ia tau persis penyebab segala sifat Dhea yang berubah menjadi gadis menakutkan seperti yang selama ini ia kenal.

Ia lebih dari tau.

Vera menyenggol lengan Erika. "Gue ngomong, woi! Diam mulu!"

Gadis itu tersentak. "Kenapa?"

"Lo liatin apa?"

Erika mengangkat bahunya sebentar. "Dhea." Ia menghembuskan napas kasar. "Lo ngerasa dia berubah nggak, sih?"

Sebelah alis Vera terangkat. "Lo takut nggak temenan sama dia? Lo takut nggak bisa makan di mall lagi karena nggak ada yang ngebayarin?"

Erika melirik Vera di sebelahnya. "Ya, enggak gitu Ver. Maksud gue beda aja gitu kalo nggak ada Dhea."

Vera menghela napas kasar. Sebenarnya, ia juga merasakan hal yang sama dengan Erika, merasa berbeda saat Dhea tidak ada bersama mereka lagi. ia memilih duduk di bangku yang terletak di koridor sekolah. Namun, baru saja ia berbalik, seorang cowok sudah berdiri di hadapannya membuat Vera cukup terkejut.

"Ngapain lo?" tanya Vera spontan.

Sementara Erika yang menyadari kehadiran Diko hanya menatap cowok itu penuh kagum. Diko memang tidak kalah tampan dari Billy, tetapi karena sifatnya yang suka bermain perempuan yang sudah diketahui hampir seluruh murid SMA Skylight itu, membuat gadis-gadis itu memilih menjauh. Tentunya kecuali Erika yang tergila-gila dengan pesonanya.

Diko tersenyum manis, kemudian menatap dua gadis itu bergantian.

"Dih, ngapain sih senyam-senyum? Sinting lo—aw!" Vera meringis saat merasakan cubitan di perutnya. Ia melirik Erika yang kini tersenyum licik.

Diko tak membalas ucapan Vera. Ia masih ragu dengan permintaannya kali ini. "Gue mau minta bantuan kalian berdua, bisa?"

Erika mengerutkan alis. Jarang sekali cowok ini meminta bantuan, apalagi dengan mereka berdua. "Soal?"

"Dhea," katanya singkat.

Dua gadis itu saling tatap sebentar. "Dhea?" tanya mereka pelan.

"Gue tunggu di Five Cafe sekarang."

A/N:
Diko mau ngomongin apa hayoo?

Maap telat, lupa kalo ini hari minggu. Semoga suka ya sama part ini dan part selanjutnya.

Ohiya, beberapa part lagi bakal masuk konflik nih. Tungguin ya!

Take Me AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang