8 | Kenangan menghangatkan

319 103 130
                                    

Les private sama orang yang paling Dhea benci, adalah hukuman terberat yang gadis itu terima.

Ia melangkah keluar ruangan dengan kekesalan yang menumpuk di kepalanya. Daripada ia tambah pusing dengan pembelajaran yang ada di kelas, kali ini ia bergerak menuju kantin untuk menikmati apapun makanan super pedas yang bisa ia jadikan pelarian.

Saat tiba di kantin kekesalannya kembali menumpuk.

Entah mimpi apa Dhea kemarin hingga ia harus tertimpa banyak kesialan hari ini. Selain karena telat ke sekolah dan diminta belajar dengan Arvin, kali ini para pedagang kantin tidak berani menjual makanannya kepada gadis itu sebelum jam istirahat tiba.

Ini semua karena sang Papa yang mengunjungi sekolah.

Satu-satunya tempat yang mungkin bisa membuatnya tenang hari ini adalah sebuah kolam dengan pohon rindang di tepinya, kolam tersebut terletak di belakang sekolah.

Gadis itu melangkah dengan cepat menuju kolam ikan tak terpakai yang sekarang berisi eceng gondok hampir di seluruh permukaan air.

Sorot matanya seketika berubah menjadi teduh saat melihat rindangnya pohon yang menutupi bagian bawah pohon. Gadis itu memilih duduk di bawahnya, perlahan kekesalannya berangsur hilang.

Inilah yang Dhea butuhkan setiap kali kekesalan menumpuk di atas kepala.

Baru saja matanya ingin tertutup, dering ponselnya membuat ia tersentak. Nama Vera muncul di layar ponselnya.

"Apa?" jawab Dhea datar.

"Lo di mana? Kalo mau bolos bilang-bilang, dong! Bosen gue di kelas."

Ucapan orang di seberang sana membuat gadis itu mengernyitkan dahi. Ia melihat sekelilingnya kemudian terdiam sebentar, ia nyaman berada di tempat sepi ini sendirian, itu artinya ia tidak ingin ada orang lain yang mengganggu ketenangannya.

"Gue lagi ada urusan," jawab Dhea ketus. "Lo di kelas aja, jangan ganggu gue."

Setelah mengatakan kalimat itu, ia memutuskan panggilan dan menonaktifkan ponselnya agar tidak ada yang menganggu.

Matanya kembali terpejam, kenangan masa kecilnya terulang bak film yang diputar dengan sengaja.

Saat itu ia sedang berdiri di bawah pohon mangga yang sedang berbuah, Dhea kecil ingin memanjat pohon tersebut tetapi sangat sulit.

Gadis kecil itu melihat sekelilingnya dan menemukan sang papa berjalan ke arahnya.

"Papa! Aku mau mangga itu!" ia merengek kepada laki-laki itu.

Papanya tersenyum kemudian menggendung tubuh kecil Dhea. "Mangganya masih mentah, sayang. Nanti papa belikan kamu yang sudah matang, ya."

Gadis kecil itu merengut. "Enggak mau, aku mau yang itu, Pa. Aku mau yang di pohon itu," katanya menunjuk mangga yang masih hijau.

"Kalau mangga itu diambil sebelum waktunya, rasanya enggak enak, asam," kata laki-laki paruh baya itu berusaha menjelaskan, "Papa enggak mau anak Papa makan mangga yang masih mentah. Emang kamu mau perut kamu sakit?"

Dhea kecil menggeleng pelan. "Kalau udah waktunya, berarti aku boleh dong ambil semua mangganya?"

"Boleh, dong, nanti Papa yang ambilin."

Senyuman tulus sang papa saat itu masih terlihat jelas di ingatannya. Sungguh, Dhea merindukan masa itu hingga tanpa sadar airmatanya mengalir di sudut mata.

"Dari kecil, lo emang suka menyendiri di bawah pohon, ya?"

Suara itu membuat mata Dhea terbuka. Di depannya berdiri seorang laki-laki yang saat ini sedang ia benci.

Arvin ikut duduk di sebelah Dhea tanpa gadis itu tawarkan. Sama dengan Dhea, cowok itu juga menyandarkan kepalanya di dahan pohon yang besar.

"Lo ngapain di sini?" tanya Dhea dengan nada kasar.

Arvin tersenyum tipis mendengar pertanyaan gadis itu. "Lo boleh benci sama gue."

"Itu lo tau," jawabnya dengan tatapan sinis. Dhea mengalihkan pandanganya ke lain arah sebelum beranjak pergi dari sana.

Melihat respon kurang baik dari gadis itu, Arvin tersenyum tipis.

"Mau ke mana?" tanya Arvin tanpa merubah posisinya, "Di gudang ada Pak Toni dan Bu Eka yang nyariin lo."

Gudang adalah ruangan terakhir sebelum sampai di kolam ini, itu artinya dua guru BK itu akan menemuinya jika ia melangkah lebih dekat.

Mendengar penuturan itu, Dhea yang sudah melangkah dari balik pohon kini berhenti.

"Mereka di suruh nyari lo sama Pak Irawan, termasuk gue."

Satu alis Gadis itu terangkat. "Jadi lo mau laporin gue?" tanya Dhea kesal kemudian melangkah ke tempatnya semula.

"Tergantung." Arvin kini berjalan mendekat ke arahnya.

"Tergantung apa?"

"Tergantung gimana sikap lo ke gue." Merasa telah membuat gadis di depannya ini takluk, Arvin tersenyum puas.

Namun, dugaan cowok itu salah. Dhea kini melangkah semakin dekat, wajahnya sengaja ia angkat agar bisa menatap mata Arvin dengan mudah.

"Semenjak menjabat jadi ketua osis, udah mulai berani, ya, lo merintah gue." Ia bersedekap, dengan wajah galak yang ia tunjukan, senyum tipis tercetak. "Lo tau, kan, siapa yang lagi lo ancam sekarang?"

"Tau." Bukannya takut dengan gesture yang Dhea tunjukan, cowok itu justru semakin mendekatkan wajahnya. "Dhea Levilita Yeour! Anak dari pemilik SMA Skylight. Cewek yang gue kenal dengan nama Levita, gadis lemah lembut yang selalu rendah hati di depan siapapun." Arvin sengaja menjeda ucapannya sebentar.

Cowok itu memundurkan wajahnya pun dengan langkahnya. Ia memasukkan kedua tangannya di saku celana dan memandang ke lain arah sebelum melanjutkan. "Sayangnya ... cewek selembut malaikat yang gue kenal, sekarang berubah menjadi monster menyeramkan."

Ia menatap lekat mata Dhea meski dari jarak yang tidak dekat. "Gadis kecil pemalu yang gue kenal dulu, sekarang berubah jadi penguasa sekolah yang ditakuti semua siswi SMA Skylight."

"Lo ngomong apa, sih? Levita siapa?" kata Dhea demi menghentikan ucapan cowok itu.

Arvin menghela napas pelan. "Lo ikut gue atau gue aduin ke Pak Irawan?" katanya tanpa melanjutkan kalimat sebelumnya, kalimat singkat yang mengembalikan serpihan ingatan yang sengaja gadis itu lupakan.

Saat melihat sorot mata gadis itu, ia yakin bahwa Levita yang menemaninya bermain dulu, sekarang ada di depannya. Meski keyakinan tersebut dengan mudah patah jika mengingat kelakuan Dhea saat ini.

"Terserah," jawab gadis itu datar.

"Oke."

Cowok itu melangkah tanpa memperdulikan dirinya yang kini menahan segala kekesalannya. Awalnya ia mengurungkan niat untuk mengikuti langkah Arvin, ia sama sekali tidak takut dengan penjilat sekolah itu. Tetapi, saat mengingat opsi kedua yang Arvin katakan, ia menyerah. Kakinya bergerak mengikuti arah cowok itu berjalan.

A/N:

Gimana gimana?

Doain aku ada waktu buat nulis ya. Biar bisa selesain ini dengan cepaattt

Sumpah ga sabar!

Btw thanks yg udah setia nungguin TMA ❤️

Salam sayang
~Khai

Take Me AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang