Cahaya matahari yang menyelinap di sela-sela dedaunan pada pohon yang ada di sisi jalan membuat gadis itu menyipitkan mata dan mempercepat langkah menuju halte bus.
Hari ini, seorang Dhea Levilita Yeour untuk kedua kalinya berangkat sekolah menggunakan angkutan umum setelah segala apa yang dilakukannya di sekolah diketahui oleh Irawan. Alhasil, sang papa benar-benar menyita mobil yang biasa ia gunakan.
Sejak kemarin ia sudah bersumpah akan mengusik hidup orang yang mengatakan kelakuannya kepada Irawan. Siapapun itu, ia tidak perduli. Orang itu harus lebih menderita dari apa yang dia rasakan.
Sebenarnya ia sudah menebak dengan mudah siapa pelakunya, tidak lain adalah orang-orang yang berada diantara penjilat sekolah alias salah satu anggota osis.
Siapa lagi yang benar-benar ingin mengadukan ini?
Tetapi ia harus memiliki bukti yang kuat sebelum benar-benar melakukan niat jahatnya. Ia tidak ingin salah sasaran yang justru membuatnya semakin dihukum oleh Irawan.
Gadis itu berdecak saat melihat halte yang ramai diisi oleh orang-orang yang ingin berangkat kekolah ataupun bekerja. Namun, tak lama amarahnya mereda karena melihat satu bus akan melintas.
Lagi-lagi ia harus berdecak kesal karena langkahnya kalah cepat dengan orang-orang di halte ini. Sebenarnya Bus tersebut masih muat untuk beberapa orang dengan berdiri, tetapi bukan Dhea namanya jika mau melakukan hal itu.
Ia melirik jam tangan yang melingkar, ia menghela napas saat tahu beberapa menit lagi bel masuk akan berbunyi. Selain dihukum mengikuti osis dan mobil disita, ia juga diminta agar datang ke sekolah tepat waktu.
Beberapa menit berlalu, sebuah motor Vespa berhenti tepat di depannya. Dhea sempat melirik, tetapi memilih tidak memperdulikan orang itu.
"Dhea," panggil Arvin saat melihat Dhea meliriknya, "mau nebeng, enggak?"
Panggilan itu bahkan tidak dipedulikan oleh Dhea. Ia berulang kali melirik jam tangannya, ia tau bahwa dirinya akan terlambat, tetapi ia tidak akan mengurangi gengsinya untuk ikut bersama Arvin.
Arvin berdecak melihat kekeras kepalaan Dhea. "Lima menit lagi bel masuk!"
Dengan rasa kesal, Dhea akhirnya menoleh. "Enggak! Lo mggak usah sok baik, deh, sama gue. Pergi aja sana!" katanya dengan gerakan tangan.
Cowok itu menatapnya kemudian berucap dengan nada datar. "Ikut gue,"
"Ck! gue bilang pergi, ya, pergi! Gue enggak butuh bantuan lo!" bentaknya lagi dengan kasar.
"Oke," jawab Arvin kemudian menyalakan motor Vespa abu-abu miliknya. Sebelum beranjak ia berucap, "semoga Pak Irawan enggak tau kalo lo telat ke sekolah."
Dhea merutuk dirinya berulang kali setelah melihat Arvin menjauh. Ia ingin sekali ikut tetapi lagi-lagi gengsinya menahan mulutnya untuk berkata 'iya'
Dan sekarang ia hanya bisa pasrah dengan hukuman yang akan bertambah atau waktu penyitaan mobil diperpanjang.
"Anjir! Bego banget, sih, gue!" katanya berulang kali.
Ini pertama kalinya Dhea merasa takut datang ke sekolah dengan keadaan telat. Matanya melirik arah berlawanan, berharap satu bus lewat. Tetapi ia harus kecewa saat bus yang lewat sudah diisi dengan banyak orang.
Matanya melebar saat teringat kenapa ia tidak memesan taxi online. Dengan gerakan cepat, ponsel dengan casing berwarna merah ia keluarkan. Tangannya bergerak lincah menuju aplikasi, namun, tepat saat ini ingin menekan ikon order, hpnya mati karena lemahnya daya.
Ia baru ingat kalau tadi malam ia lupa mengisi daya baterai ponselnya.
Suara berisik yang berasal dari motor Vespa kembali terdengar. Arvin kini turun dan berdiri di depan Dhea, mengenakan helm di kepala gadis itu kemudian menarik tangannya menuju motor.
"Gue enggak mau lo telat dan hukuman lo bertambah. Jadi, ikut gue dan lo enggak boleh nolak."
Dhea terkesiap dengan perlakuan Arvin yang menururtnya manis, tetapi sayangnya ia berusaha membuang rasa hangat yang sempat hadir di hatinya.
*****
Hari ini adalah jadwal Irawan untuk berkunjung ke SMA Skylight dan juga ia sudah bertemu dengan dua orang yang mengadukan segala yang anaknya lakukan di sekolah miliknya.
Sebagai seorang ayah, ia harus lebih teliti lagi mendidik anaknya agar tidak berlaku semena-mena terhadap orang lain.
Awalnya, ia mengira Dhea akan belajar dengan baik jika menuntut ilmu di sekolah miliknya. Tetapi, itulah penyebab segala tindakan yang anak itu lakukan.
Suara ketukan pintu membuatnya menoleh. Di ambang pintu Dhea berdiri bersama cowok yang sebelumnya juga Irawan panggil.
"Duduk," perinta lelaki paruh baya itu.
Dengan malas Dhea melangkah duduk di sofa, berbeda dengan gadis itu, Arvin justru terlihat sangat sopan di hadapan Irawan.
"Kamu Arvin Nugraha?" tanya Irawan yang kemudian dibalas dengan anggukan, "juara kelas tiga tahun berturut-turut?"
Arvin mengerutkan alis sebentar sebelum mengangguk dan menjawab, "Iya benar, Pak."
Irawan mengangguk, ia ingat Arvin Nugraha yang berdiri di depannya ini adalah anak dari salah satu temannya dan tidak lain adalah teman Dhea semasa kecil. Peringkat kelas yang di raih Arvin selama tiga tahun belakangan ini, membuat Irawan mendapatkan sebuah ide demi mengubah anaknya.
Ia berpikir, anaknya akan merasa senang jika belajar bersama teman masa kecilnya. Ia sangat tahu bagaimana akrabnya mereka berdua sewaktu kecil. Sama-sama menyukai lukisan langit, membuat mereka berdua benar-benar tidak bisa dilarang jika ingin menikmati pelangi atau bintang yang bertabur di langit.
Karena hening yang cukup lama, gadis itu berdecak sebal. "Mau ngapain sih, Pa, panggil aku ke sini?"
Sejak mendengar namanya dipanggil, gadis itu sudah sangat yakin bahwa ada hukuman yang akan sang papa berikan padanya lagi. ia tidak habis pikir dengan pola pikir orangtuanya, bagaimana mungkin menghukum anaknya sendiri dengan hukuman yang lebih dari satu.
Di hukum di sekolah milik papa sendiri.
Sama sekali tidak lucu.
Irawan tidak menjawab pertanyaan sang anak. "Mulai hari ini, kamu saya tugaskan untuk mengajar Dhea sampai nilainya membaik," ucap Irawan kepada Arvin.
Mendengar ucapan itu, Dhea membelalakan matanya tidak percaya. "Aku enggak mau, Pa." Dengan sorot mata tidak suka ia menatap papanya kesal. "Kenapa Papa enggak daftarin aku ke bimbel aja? kenapa harus dia yang ngajarin aku?"
Dhea tidak akan tinggal diam dengan permintaan papanya kali ini. ini sudah kelewatan menurutnya. Ia tidak akan mau belajar dengan orang yang tidak ia suka sama sekali.
Apa tidak cukup Arvin melaporkan dirinya kepada sang papa?
Irawan mengangguk. "Oke, kalau itu permintaan kamu, berarti kamu harus siap untuk pindah sekolah."
Lagi, ucapan sang papa membuat kekesalannya menumpuk. Ia tidak menjawab, melainkan menatap Irawan dengan tatapan kebencian. Matanya sudah memerah karena amarah, tetapi tidak satu kata kasarpun keluar dari mulutnya.
Melihat ekspresi tidak suka dari Dhea, Arvin memilih menjawab. "Siap, Pak, saya mau ngajarin Dhea sampai nilainya membaik."
Tidak ingin menangis karena sebuah kekecewaan dari Irawan, Dhea akhirnya melangkah pergi tanpa permisi.
Sudah tidak ada pilihan lagi selain ia menerima tawaran pertama papanya.
A/N:
Buat yg udah baca TMA sejauh ini, apa hal yg bikin kalian gasuka atau bahkan kecewa?Serius nanya:"(
![](https://img.wattpad.com/cover/179315721-288-k902910.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me Away
Novela JuvenilAku harap kalian nggak akan kecewa dengan kisah ini. Ini bukan tentangnya yang kutu buku lalu dibully. Ini bukan tentangnya yang introvert yang mendapatkan pacar si idola sekolah. Apalagi tentang dia yang ekstrovert dan mengejar cinta manusia batu. ...