"Lo udah baca di mading?" tanya Diko setelah melumat puntung rokok dengan ujung sepatunya.
Billy menoleh. "Ada hal penting apa?"
"Dhea." Ucapan singkat Diko mampu menarik perhatian cowok itu. "Ibunya punya penyakit mental." Ia kembali membakar satu batang rokok yang akan ia hisap untuk yang kedua kalinya.
Tempat persembunyian paling aman saat ini adalah rooftop gedung paling ujung. Tempat dimana jarang sekali didatangi orang-orang. Menjadi tempat paling aman untuk mereka menghisap rokok.
"Maksud lo gila?"
Cowok itu mengangguk. "Dari yang gue baca, ibunya gila karena di tinggal suaminya. Dan asal lo tau, suaminya itu Pak Irawan." Diko mendeja ucapannya. Kemudian menoleh ke arah Billy. "Berarti Bu Sara udah ngerebut Pak Irawan dari nyokap kandung Dhea."
Billy tertawa. Namun, tertawa meremehkan. "Pantas aja anaknya begitu," ucap Billy. Ia mengambil satu batang rokok dari dalam bungkusnya. Kemudian ikut membakarnya dan menghasilkan kepulan asap yang keluar dari mulutnya. "Gue pengen lihat gimana cewek itu sedih."
Diko yang sebelumnya berdiri kini ikut duduk pada bangku panjang yang itu. Ia menepuk bahu Billy sekali. "Lo nggak ngambil kesempatan di situasi ini?"
Diko benar, kejadian ini bisa menjadi kesempatan besar untuk ia membuat gadis itu jera dan tidak akan melakukan aksi bullying lagi. Ia yakin, Dhea tidak akan benar-benar berhenti untuk membully Rasty.
Cowok itu mengehentikan pergerakannya saat mendengar penuturan temannya itu. "Enggak," katanya setelah menggeleng. "Gue suka sama dia."
"Apa?" tanya Diko terkejut. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan ucapan temannya itu salah. "Lo mabuk?"
"Gue suka sama Dhea," ucap Billy sekali lagi. Berharap temannya itu tidak akan bertanya lagi setelah ini.
****
Skylight Festival berjalan dengan lancar dan semoga saja rencana Arvin hari ini juga berjalan dengan lancar. Hari sudah sore saat rencana ini akan dilaksanakan. Ruang osis itu kini dihiasi oleh balon yang terbang di plafon ruangan.
Dibantu dengan anggota osis lainnya, Arvin menyiapkan ini dengan sangan matang. Boneka-boneka yang ia dapat dari pemcapit boneka saat di Timezone waktu itu ia ubah menjadi sebuah bucket boneka yang akan ia berikan dengan gadis yang menghangatkan dadanya setiap kali senyum tercetak.
Kini, ia berdiri di depan ruangan. tidak ada siapapun di ruangan itu selain dirinya. Ia sudah mengirimkan sebuah pesan agar Dhea menemuinya di tempat ini. Hari ini akan menjadi hari paling bersejarah untuknya, karena gadis itu akan menjadi miliknya.
Benar-benar miliknya.
Beberapa menit setelahnya, pintu itu dibuka kencang oleh gadis yang tadi ia tunggu-tunggu. Sorot penuh emosi terlihat jelas di matanya. Bahkan, Arvin tidak melihat seulas senyum yang biasanya gadis itu tampilkan.
Dhea berdiri di depan cowok itu. Kebencian pada Arvin semakin menumpuk saat melihat senyum itu. Ia menampar Arvin dengan kuat, tidak peduli dengan bucket yang kini terjatuh di atas lantai pun ia mengabaikan segala dekorasi yang sudah dipersiapkan.
Normalnya, gadis itu akan tersenyum senang karena memang inilah yang ia tunggu-tunggu. Beberapa minggu bersama Arvin membuatnya tidak bisa menyangkal bahwa ia jatuh cinta. Tetapi nyatanya, sesuatu hal lebih dulu terjadi sehingga ia lebih ingin mengacak wajah cowok ini daripada menampilkan senyum manis.
"Puas lo?" tanya Dhea setelah cowok itu menatapnya lagi.
Arvin bingung, sama sekali tidak mengerti dengan maksud Dhea. "Lo kenapa?" tanya Arvin. Ada nada khawatir dari kalimat yang cowok itu utarakan. Ia yakin ada sesuatu yang membuat gadis ini berubah.
Gadis itu tersenyum miring. "Lo masih nanya gue kenapa setelah lo hancurin reputasi gue?!" Ia bertepuk tangan. "Hebat. Hebat!" serunya. "Dari awal harusnya gue nggak usah percaya sama sifat sok baik lo ke gue! Harusnya gue tau rencana terselubung lo!"
Dhea menahan napasnya ketika sesak itu hadir lagi. Ia menelan salivanya saat tenggorokannya tercekat. Juga membuang mukanya saat sebening air menumpuk di pelupuk mata. Jangan, jangan, ia tidak ingin terlihat lemah di depan cowok ini. Dhea harus bisa menahannya.
Arvin tidak menjawab. Cowok itu membiarkan Dhea dengan segala amarahnya.
"Bego banget, ya, gue," katanya setelah beberapa detik hening. Ia tertawa hambar. "Bego banget gue bisa percaya sama cowok yang udah ngaduin kelakuan gue ke bokap!"
Ia menatap Arvin penuh benci. Kemudian mendekatkan tubuhnya. "Lo selalu bersikap baik ke gue, lo ngelindungin gue, selalu ada kalo gue butuh bantuan. Gue pikir lo beneran baik." Dhea menahan napasnya sebentar demi menahan buliran airmata yang sudah menumpuk. Setelah berhasil, ia kembali menatap Arvin. "Lo sebenarnya mau apa dari gue?" Dhea tak melepaskan tatapan benci itu sampai Arvin bersuara.
"Sorry ...."
Hanya kata itu yang terdengar dari Arvin, ia benar-benar tidak mengerti kemana arah pembicaraan Dhea bermuara. Lagi-lagi gadis itu tertawa dengan hambar. Lalu ia beranjak dari tempatnya. Sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu, Dhea bersuara.
"Jangan pernah nampakin muka lo di hadapan gue!"
Seharusnya, setelah melakukan itu, dirinya akan puas. Apalagi ia menampar Arvin cukup kuat. Tetapi yang terjadi justru rasa bersalah yang menghampirinya, juga dengan airmata yang mengalir tepat selangkah ia berbalik arah.
Dhea tidak mengerti dengan dirinya. Tidak megerti mengapa ia justru semakin sedih setelah mengungkapkan semua kekesalannya.
Setelah beberapa langkah Dhea beranjak, tangannya dicekal oleh Arvin. "Gue nggak ngerti lo ngomongin soal apa. Tapi gue bakal cari tau." Cowok itu berdiri di depan Dhea, ia menatap gadis itu dengan kasihan, ia tau, ada luka yang menganga di hatinya. "Cari gue kalo lo benar-benar butuh orang sebagai teman cerita ataupun melepas kekesalan."
Dhea tidak menatap cowok itu, ia memandang ke lain arah, meskipun dadanya terasa hangat saat kalimat itu terdengar.
"Gue tau, elo lagi nggak baik-baik aja sekarang." Cowok itu mendekat. Kemudian berbisik. "Gue tau, Levita."
Setelah mengatakan itu, Arvin pergi meninggalkan Dhea sendirian di ruangan itu. Tepat saat itu juga, tubuhnya meluruh di atas lantai dengan air mata yang mengalir deras.
A/N:
Gimana part ini?
Kasihan banget Arvinkuuuu:( mau nembak eh malah ada kejadian kekgini.
Mana nih yang minta buruan update? Hehe. Makasih ya udah exited sama cerita ini. Luv!
Kalo kita udah suka sama orang, kalau orang itu ngelakuin jahat ke kita, pasti ada aja rasa nggak tega. Tapi Dhea memang orangnya egois, dia mengabaikan semua rasa sukanya ke Arvin.
Kalian lebih suka Dhea sama Arvin atau sama Billy?
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me Away
Teen FictionAku harap kalian nggak akan kecewa dengan kisah ini. Ini bukan tentangnya yang kutu buku lalu dibully. Ini bukan tentangnya yang introvert yang mendapatkan pacar si idola sekolah. Apalagi tentang dia yang ekstrovert dan mengejar cinta manusia batu. ...