21 | Suatu Rencana

129 20 8
                                        


Ternyata dua minggu berlalu begitu cepat. Hari ini adalah hari terakhir ujian semester dilaksanakan. Kelas yang biasanya ramai dan berisik, kini justru sebaliknya. Beginilah keadaan kelas kalau sedang ujian semester ganjil, semua akan lebih sibuk dengan soal-soal dibandingkan mendominasi kelas dengan suara mereka.

Dhea dengan begitu fokus menjawab setiap soal-soal yang ada. Meskipun tadi malam ia belajar tidak terlalu lama, tapi soal ini sudah ia kuasai sebelumnya. Tangannya dengan cepat menuliskan setiap kata pada lembar jawaban sementara temannya yang lain masih sibuk memikirkan jawaban yang benar.

Arvin benar-benar berhasil membuatnya belajar dengan tekun. Menurutnya soal-soal yang ada di depannya saat ini sama sekali tidak ada yang sulit. Ia semakin bersemangat ketika mengingat ia akan terbebas dari hukuman setelah nilai-nilai ini keluar.

Empat puluh lima menit berlalu untuk ujian mata pelajaran terakhir ini, sangking cepatnya Dhea menyelesaikan soal, kini hanya tersisa satu soal yang belum ia kerjakan. Sebenarnya kemampuan gadis ini tidak bisa diragukan, namun, hanya karena sikap semena-mena dan berkelakuan sesuka hati membuat orang-orang merasa dirinya tidak bisa apa-apa selain bersikap kasar.

Ia bergerak menuju meja guru. Siswa-siswi di kelas itu tidak heran lagi dengan Dhea yang mengumpulkan kertas ujian pertama kali, tetapi guru yang sedang mengawas itu melihat Dhea dengan tatapan tidak percaya.

"Sudah selesai?" tanya Bu Tina saat tubuhnya baru saja berbalik.

Gadis itu mengangguk sekilas, kemudian kembali duduk di bangkunya sembari menunggu bel pulang berdering. Ia menenggelamkan kepalanya di dalam lipatan tangan. Kalimat yang ia ucapkan malam itu terus terngiang di kepalanya, beberapa pertanyaan terlintas begitu saja.

Kenapa ia harus mengungkapkan itu secara tiba-tiba?

Kenapa ia tidak bisa menahan ucapannya?

Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mampu membuatnya terus memikirkan hal itu. Tidak ada yang salah dari kalimatnya, tetapi ia hanya merasa malu karena Arvin tidak membalas ucapannya.

Mungkin cintanya akan bertepuk sebelah tangan untuk yang ke dua kali.

Bel pulang berdering, beberapa murid yang belum memberikan lembar jawaban berhamburan ke meja guru sementara dirinya masih nyaman dalam posisinya.

"Dhea," panggi seseorang.

Gadis itu tidak mendongak, hanya melirik dari sela-sela rambut yang menutupi wajah.

"Lo udah nggak berurusan sama Arvin, kan?" ucapan Vera membuat gadis itu mendongak.

Alisnya tertaut. "Kenapa emang?"

"Kumpul yuk!" ajak Erika bersemangat.

"Kelab?" tanya gadis itu dengan sebelah alis yang terangkat.

Dua orang yang berdiri di sebelah mejanya berdecak. "Enggak," bantah Vera. "Cuma ke mall kok, main di Timezone."

Dhea menatap dua orang itu bergantian. Tidak biasanya dua temannya ini mengajaknya ke tempat seperti itu.

"Sama Diko. Ada Billy juga."

Gadis itu terkesiap saat mendengar nama Billy. sejak kejadian ancaman waktu itu, Billy adalah orang yang paling wajib ia hindari. Bahkan ia melupakan segala rasa sukanya.

Ia menunduk, berusaha menormalkan ekspresinya. "Sorry, gue ada urusan." Dhea memakai tasnya kemudian melangkah pergi meninggalkan dua gadis yang kini menatapnya bingung.

****

Dugaan Rasty benar, Arvin akan kembali pada mereka setelah urusannya dengan Dhea selesai. Tidak banyak yang berubah dari Arvin selain menjadi lebih pendiam dari biasanya. Cowok itu lebih sering melamun dibandingkan menanggapi ucapan-ucapan tiga orang temannya.

Di ruang tamu rumah Rasty, mereka berkumpul dengan snack yang menumpuk di atas meja. Kalau seperti ini biasanya Bagas dan Arvin lebih memilih bermain game ketimbang harus menemani dua gadis itu menonton film.

"Jadi gimana soal hubungan lo sama Dhea?" tanya Bagas meski matanya masih berfokus pada game di ponselnya.

"Lo beneran pacaran sama Dhea?" belum sempat Arvin menjawab, Anin sudah lebih dulu mengajukan pertanyaan.

Cowok yang diberi pertanyaan itu mengangkat bahunya sekilas. "Gue mau memperjelas hubungan gue sama Dhea."

Hanya kalimat itu yang terucap dari Arvin, tetapi berhasil menghentikan pergerakan ketiga temannya.

Rasty menatap tiga temannya bergantian. "Memperjelas? Berarti kemarin pura-pura?"

"Lo beneran suka sama Dhea?"

"Dhea beneran temen kecil lo?"

Pertanyaan itu dilontarkan Rasty dan Bagas bergantian. Arvin tidak menjawab, memilih pertanyaan itu menguap begitu saja.

"Bukannya Dhea suka sama Billy? terus Billy gimana?" tanya Anin berusaha menggoyahkan niatan Arvin untuk memperjelas hubungannya dengan gadis sombong itu.

"Kayaknya semenjak hubungan Arvin tersebar, Dhea nggak pernah ngejar-ngejar Billy lagi," kata Arvin. itu karena Dhea yang berusaha menghindar, takut jika hal yang tdia-tidak terjadi lagi padanya.

Rasty mengangguk menyetujui. Bahkan semenjak itu, ia tidak pernah lagi diganggu oleh gadis menakutkan itu. "Dia juga kayaknya bahagia banget pas deket sama Arvin. iya nggak?" tanya Rasty ke arah Bagas.

Cowok itu mengangguk, lalu pandangannya beralih ke arah Arvin. "Jadi kapan lo niat beneran nembak Dhea?"

Saat pertanyaan itu terdengar, sesuatu semakin mencekat tenggorokan Anin. Ia merasakan matanya memanas. Berkali-kali ia mengedipkan mata agar sebening air itu tidak tumpah.

"Setelah selesai Skylight Festival."

Tepat saat kalimat itu terlontar, sebuah cairan hangat membentuk garis lurus di pipi Anin. Ia membuang muka, berusaha menyembunyikan airmatanya. Kemudian gadis itu berdiri dan pergi dari tempat itu sekarang juga.

"Mau kemana Nin?" tanya Rasty dengan sedikit berteriak.

Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya ingin meninggalkan mereka saat itu juga.

A/N:

Uwwuu ada yang mau beneran nembak nih hihi.

Anyway, kalo TMA update dia hati sekali pada setuju nggak?

Take Me AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang