Kain Putih

1.1K 198 40
                                    

Bismillah...

Laura menarik napas sejenak sebelum membuka pintu kamar Diah. Merasa agak cemas jika Diah di dalam sana sudah berubah liar dan tidak terkendali.

Gadis itu menelan ludah lalu memutar kenop pintu. Dan seketika matanya membulat saat melihat Diah menangis di tepi kasur, sedangkan Gina sudah ditutup dengan kain putih di atas tempat tidurnya.

Laura membeku di tepi pintu, tidak dapat bereaksi apa-apa, Diah yang menyadari ada orang yang masuk segera menoleh ke belakang dan berlari menuju Laura.

"Laura ... sumpah, gue gak bunuh Gina, dia mati sendiri," kata Diah sambil memegangi kaki Laura. Namun Laura diam saja, matanya lurus menatap Gina yang tak bergerak sama sekali.

Diah makin histeris saat Laura menghentakkan kakinya, lalu dengan tatapan kosong berjalan menuju Gina dengan langkah tenang.

"Jangan kurung gue please, gue gak mau dikurung lagi, Laura ... lo percaya sama gue kan? Gue gak bunuh dia," katanya dengan suara parau.

Laura membuka kain putih yang menutupi Gina lalu menghembuskan napas. Kepalanya menoleh ke arah Diah yang sudah menangis sesengukan di tepi kasur.

"Sebenarnya apa yang bikin lo gak mau direhabilitasi?" tanya Laura lemah. Diah mengangkat wajah, menatap Laura dengan pipi basah karena air mata.

"Karena gue gak mau sendirian, saat gue direhab, Papa sama Mama bahkan gak pernah datang, gak ada yang nemenin gue selain Axel, tapi Axel pemarah, dia selalu nyuruh gue mati dan bikin kepala gue sakit," racau Diah sambil mencengkram sisi kepalanya. Laura tersenyum tipis lalu mengelus kepala Diah.

"Ada gue, gue akan nemenin lo Di, gue akan nemuin lo tiap hari dan bikin lo lupa sama Axel, dia gak baik, jangan dengerin dia," kata Laura lalu menarik Diah ke pelukannya. Diah menangis histeris dan membalas pelukan Laura.

"Lo janji?" tanya Diah serak. Laura mengangguk.

"Janji, tapi lo janji juga harus mau rehabilitasi lagi, oke?" tanya Laura balik. Diah mengangguk sambil menghapus air matanya.

Laura mengurai pelukan mereka, menatap Diah lekat.

"Sekarang lo masuk ke kamar yang lain dulu, oke? Biar gue yang beresin masalah Gina," kata Laura. Diah mengerjap dan langsung mengangguk kuat.

Laura lalu menuntun Diah ke kamar lain yang lebih kecil dari kamar gadis itu. Setelah memastikan tempat itu aman dari benda-benda tajam Laura lalu mengunci Diah di sana.

Gadis itu menghembuskan napas lalu terduduk di depan pintu. Merasa tungkai kakinya melemah setelah berhasil menenangkan Diah. Tangannya segera mengambil ponsel yang ada di dalam saku untuk menelfon seseorang. Matanya mengerjap saat mendengar telfonnya diangkat.

"Halo Kak? Gimana?"

Laura menggigit bagian bawah bibir.

"Bisa bantu aku?" tanyanya.

🐊🐊🐊

Aksal, Sagara, Radi dan Ales segera ke rumah Diah setelah mendapatkan alamat dari Faizan. Alesha tidak dibolehkan ikut karena sedang hamil tua.

Keempatnya tidak terlihat berbeda, pucat dan panik karena takut jika Gina kenapa-kenapa. Walau di antara mereka yang paling gelisah tentu saja Aksal, pemuda itu bahkan tidak bisa duduk dengan tenang karena merasa perjalanan dari rumah Alesha ke rumah Diah terasa sangat lama.

"Sejak awal seharusnya gue dengerin Alesha, gue gak pantes buat Gina, kalau nanti Gina kenapa-kenapa, gue mungkin bakalan nyusul Diah ke rumah sakit jiwa karena juga ikutan gila kayak dia," kata Aksal sambil mengusap wajahnya kasar membuat Sagara dan Radi yang duduk di sebelahnya jadi tersentak. Ales yang mengemudikan mobil bahkan reflek menoleh ke arahnya.

Kisah Aksal si Casa(NO)va [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang