- 4 -

32 8 2
                                    

Selamat membaca kisah ini!
Jangan lupa vote dan komen.

***

Senin akan menjadi hari yang paling dibenci hampir seluruh siswa di sekolah ini. Bagaimana tidak, matahari bersinar dengan terang dan mengakibatkan panas. Mendengarkan amanat pembina upacara yang selalu diulang.

Bosan overdosis. Kata itu yang tepat untuk mereka. Muncul berbagai pendapat dalam pikiran mereka. Apakah sang pembina tidak bosan setiap menyampaiakan amanat yang itu-itu melulu? Untung petugas upacara setiap hari Senin berbeda orang. Kalo sampai sama, bisa-bisa makin sinting peserta upacaranya.

3A5 akan menjadi kelas paling akhir yang turun untuk upacara. Layaknya bos besar yang tidak ingin menunggu. Ketika kelas lain barisannya sudah rapi baru mereka akan turun. Letak kelas mereka di lantai dua paling ujung. Daripada desak-desakan, lebih baik mereka mengalah.

"Gerah woi, gerah. Mepet-mepet banget sih barisannya!" pekik Sasa dengan mengibaskan jilbabnya sedikit ke atas agar angin bisa menyentuk permukaan kulitnya.

"Tau nih, udah tau lapangan gak muat tetap aja dipaksa," hina Kaila.

"Ngomel mulu lo pada," sarkas Melisa.

"Ck lo tuh. Harusnya yang kelas tiga gak perlu ikutan upacara, udah uzur juga," ucap Sasa yang semakin kesal. Harusnya yang paling senior duduk anyem di kelas bukan panasan kayak gini.

"Nah setuju tu gue. Amanatnya juga ngomongin ujian lah, kebersihan, trus anak kelas satu. Sumpah enek banget," timpal Sari yang sedari tadi menyimak.

"Apalagi guru-guru yang jaga di belakang tuh, hih bikin risih gue liatnya,"  pekik Anti.

"Aduh apa ya, gue tu paling gak suka sempit-sempitan kayak gini. Nambah bikin keringetan, mana panas lagi," protes Sasa yang kembali mendapat tatapan malas dari temannya.

"Dasar goblok. Dimana-mana panas pagi itu sehat," ungkap Fia dengan nada sinisnya.

"Alah walau pun sehat juga gue gak mau. Rambut gue tuh sensi sama panas-panas kayak gini."

"Temen siapa sih ini, suka ngeluh banget dah," geram Viona.

"Anak sultan gitu tuh. Dikit-dikit ngomen aja muncungnya," cibir Lilis.

"Iri bilang boss."

"Apa lo bilang?" tanya Lilis.

"Udah deh, itu bentar lagi bendera mau berkibar. Hargai dong, walau sebentar," potong Aksa yang ikut kesal mendengar perdebatan kaum hawa kelasnya. Dimana-mana selalu menemukan omelan. Apa setiap perempuan akan berakhir dengan sikap cerewet?

"Siap pak ketua," ujar Sasa.

"Asiapp kapten,"

"Kek iya aja si ketua," cibir Kaila.

Begitulah 3A5. Sebenarnya hal seperti ini kelihatan biasa saja dikalangan para siswa. Namun tetap saja saat bendera kebangsaan akan berkibar, mereka menghormatinya. Bukan karena paksaan, tapi seperti sudah seharusnya mereka melakukan. Seolah ada yang mendorong mereka untuk selalu melihat ke arah bendera. Menghargai jasa para pahlawan dengan tetap menjadikan Merah Putih sebagai bendera yang akan berkibar di ujung tiang.

"Gue bingung deh," ungkap Zaen setelah bendera sudah mencapai puncaknya.

"Kenapa?" tanya Rania, kebetulan mereka baris bersebelahan.

"Kenapa tiap bendera dipasang kita harus hormat. Maksud gue gini, menghargai juga gak harus dengan memberikan hormat. Dirasakan dalam hati juga bisa, lagi pula tiap orang kan bisa menghormati dengan caranya masing-masing," ujar Zaen.

My (Idiot) ClassroomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang