- 13 -

6 3 0
                                    

Selamat membaca kisah ini!
Jangan lupa vote dan komen.

***

Viona memasuki gerbang sekolah dengan tas yang kosong. Tidak ada benda apapun di dalamnya. Menyampirkan tas di bahu kanannya. Jangankan kosong, berisi saja dia tetap melakukan hal yang sama pada tasnya. Jika tidak di bahu kanan pasti dia pegang.

Warga sekolah telah ramai berdatangan. Tapi ada juga yang enggan menginjakkan kaki di sekolah pada hari ini. Tidak ada pelajaran untuk apa harus datang.

"Ila pagi ini dateng gak?" tanya Viona pada Yena.

"Enggak, Na, nanti siang pas mau lomba baru datang," ujar Yena sesekali memainkan smartphone di tangannya.

"Dandan di mana si Ila, Yen?" tanya Rania.

"Di sebelah rumahnya, kebetulan tetangganya bisa make up. Jadi ya di situ," terang Yena.

"Kalian nanti yang semangat lombanya, menangin," pinta Melisa dengan wajah berseri-seri. Dia sangat berambisi jika sudah menyangkut pertandingan.

"Lo juga, Mel, harus semangat. Kan lo tanding juga," timpal Sari.

"Yang gak ikut lomba ni di dalam kelas aja?" tanya Sasa.

"Nontonlah, kasi semangat. Ya kali kalian di kelas doang," sela Viona.

"Ho oke deh, ntar rame-rame kita turun pas kalian lomba," ujar Sasa.

"Nanti kertas muka dulu, 'kan? Wah semangat ya, Rara sama Anti, bikin heboh aja," sorak Lia.

"Heboh gimana. Orang lombanya cuman gerakin muka ke sana-sini," cibir Anti dengan tampang sok.

"Gimana muka gue ya pas lomba ntar?" tanya Rara yang ikut berpikir. "Doi gue langsung lari pas ngeliat muka gue jelek begitu," keluh Rara lagi. Malangnya nasib.

"Bukan jodoh berarti. Harusnya dia nerima apa adanya," ujar Fika.

"Zaman digital kayak gini mah gak ada yang bakal begitu," ujar Tata. Giliran ada sangkut paut dengan teknologi baru dia berkoar.

"Hidup gak cuma tentang cinta tapi juga harta," papar Yena.

"Jangan mau diajak hidup susah. Ya minimal matrelah dikit," saran Rania.

"Dasar cewe matre," cibir Sasa.

"Matre itu manusiawi. Emang lo mau hidup susah, perempuan emang harusnya begitu," komentar Tata.

"Selain untuk penunjang kebutuhan. Itu tuh kayak tantangan buat laki-laki supaya lebih kerja keras," ujar Fia. "Tapi matrenya masih digaris normal ya, bukan yang kayak disinetron alay gitu," ungkapnya lagi. Kalo kayak disinetron itu benar-benar matre kelewatan.

"Pokoknya harus sukses, trus kita reuni bareng deh nantinya," ujar Sari.

"Gaes, disuruh turun semuanya. Lomba mau dimulai," ujar Lilis sambil memasuki ruangan kelas. Memang sejak tadi beliau di luar, menikmati pemandangan. Ya, cowok yang disukainya. Bahkan kita sekelas bisa tau. Tidak kebayang bukan.

"Kita duluan ya, pasti banyak yang mau diurus," pamit Rania mewakili ketiga sahabatnya.

"Ho oke, semangat jadi panitia." ujar Viona. "Cayo!" ujarnya lagi sambil memberikan semangat dengan telapak tangan yang dikepal.

"Aman, Na, kalian juga semangat lomba nanti," ujar Putri.

"Bye, Gaes!" teriak Fia sambil melambaikan tangan kepada mereka.

Langkah mereka keluar dari kelas menimbulkan suasana yang berbeda. Ke empatnya menampilkan ekspresi biasa. Ya, datar. Seperti dulunya. Hanya beberapa dari orang-orang yang mampu mengubah raut itu.

My (Idiot) ClassroomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang