- 18 -

9 3 0
                                    

Selamat membaca kisah ini!
Jangan lupa vote dan komen.

***

Terik fajar menyinari kamis pagi. Sekumpulan manusia duduk dengan posisi bebas dan menghadap ke satu arah yang sama. Mendengarkan pembicaraan yang tidak diminati beberapa dari mereka.

"Swasta ... kirain PTN yang datang," gumam Yuna.

"Mimpi banget dikunjungi sama PTN. Mana mau dia." Dengan tangan yang sibuk memegang jilbab, Sari datang dan memotong pembicaraan.

"PTN gak perlu datang kayak gini buat cari peminatnya. Pasti diserbu banyak orang," tebak Fia.

Zaman canggih seperti ini pasti banyak sekali yang ingin menjadi bagian dari PTN. Itu merupakan jalan pertama bagi mereka yang ingin berkuliah. Tapi bukan berarti PTS kalah saing. Setiap Perguruan Tinggi memiliki ciri khas tersendiri yang akan diminati oleh calon mahasiswanya.

"Gue ngejar yang negeri dulu deh, kalo swasta nanti aja," seperti memiliki harapan lulus di PTN, Rania berujar mewakili isi hatinya.

"Rata-rata juga banyak yang milih negeri dulu baru swasta," timpal Putri.

"Negeri biayanya terjamin. Ya minimal gak ada uang pembangunan. Tapi kalo masalah uang semester, ya kurang lebih sama," jelas Fia.

Sebenarnya sama saja. Selagi kita memiliki niat untuk berkuliah, dimana pun Perguruan Tingginya, pasti memiliki potensi tersendiri. Jangan hanya melihat kampusnya, tetapi kita juga harus memiliki potensi. Agar terciptanya keseimbangan.

"Kalian mau ambil jurusan apa?" Fika mengalihkan tatapan kepada teman yang diajaknya berbicara.

"Gue kayaknya gak kuliah deh. Soalnya otak pas-pasan," ujar Ila. Dia duduk dengan kaki yang berlipat. Walau memiliki kulit hitam, tapi dia sangat manis.

"Bila ambil psikologi rencana, suka aja," timpal Bila dengan sesekali mengusap wajahnya menggunakan tisu untuk menghilangkan minyak di wajahnya.

"Gue pengen kuliah, tapi masih bingung ambil jurusan apa," keluh Yena lalu mengambil ponselnya yang disimpan di tempat pena, agar mudah membawanya saat berada di lapangan seperti ini. Alasan lain supaya tidak ketahuan oleh para guru.
"Lo ambil apa, Na?" tanya Fia. Dia membawa buku setiap kali turun ke bawah. Entah untuk menulis atau sebagai pelindung kepala dari panasnya terik matahari.

"Apa ya, gue masih bingung sih. Tapi buat sekarang, minat gue di HI sama arsitektur," tutur Viona sambil memutar pena di tangan kanannya, persis seperti memutar bola basket.

"Kirain bakal ambil olahraga," sindir Fika yang memang berada di sebelah Viona.

"Ya kalo ada UKM buat basket, gue tetep ikut," balas Viona dengan tatapan jahilnya.

"Basket teros," cibir Melisa. Dia memang suka menjadi kompor di antara mereka semua. Sebenarnya untuk mencairkan suasana agar lebih ekstrim. Walau terkadang tingkat pedasnya dilevel tertinggi.

"Lo sendiri gimana, Mel?" tanya Viona.

"Gue pengen kuliah, cuman kayaknya gak boleh luar daerah deh. Masih bingung juga," jelas Melisa dengan memegang jilbab bagian kanannya untuk dilipat ke bahu kiri.

"Yang paling sulit dalam hidup tuh bukan belajar," ujar Tata tiba-tiba yang menjadi titik pusat perhatian mereka. "Lah, ngapa pada mandangin gue?" tanyanya setelah melihat sekeliling.

"Nungguin lanjutan lo, Maemunah," gerutu Rania dengan tatapan datarnya. Sudah memotong teman yang lain berbicara, sekarang dia pula yang bertanya. Kenapa manusia lucu, sih.

My (Idiot) ClassroomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang