Mata Safia terbelalak mendengar suaminya menyebut nama Embun. Dia merasakan jantung di dadanya berdenyut perih. Seperti ada belati tajam yang menancap kuat di hatinya. Sakit. Sungguh terasa pedih. Seketika mata wanita itu merebak merah.
Lekas Safia melepas dekapan sang suami. Ditepiskannya dengan kasar tangan kekar yang melingkar di perut.
Menyadari perubahan sikap Safia, Jevin menarik kembali tubuh sang istri. Lagi Jevin mengunci rapat tubuh mungil Safia.
"Lepaskan aku Jevin!" teriak Safia marah. Dia mendorong tubuh suaminya menjauh.
"Hei ... ada apa ini?!" tanya Jevin bingung.
Pria itu memincing melihat air muka Safia yang berubah mengerikan. Sang istri yang beberapa waktu lalu berseri-seri ceria, kini wajahnya merah padam. Sepertinya Safia tengah menahan amarah.
Safia sendiri terkesima mendengar pertanyaan polos dari mulut suaminya. Mulutnya menganga lebar tak percaya.
"Jevin, kamu masih tanya ada apa? Jangan pura-pura polos seperti itu!" Safia mendelik tajam ke arah Jevin. Wanita itu bangkit berdiri.
Kembali ia menepis tangan Jevin yang hendak meraih tubuhnya. Wanita lekas menuju lemari pintu empat di sudut ruangan.
Jevin pun segera beranjak dari ranjang. Pria itu memungut boxernya yang tergeletak di lantai. Cepat ia mengenakan kain itu guna menutupi tubuhnya agar tidak polos. Dirinya kian mengheran melihat Safia mengeluarkan semua pakaiannya dari dalam lemari.
"Safia ...." Jevin memegangi kedua lengan istri agar berhenti mengeluarkan baju-baju. "Tolong jelaskan! Kenapa tiba-tiba kamu marah seperti ini? Kamu marah aku sentuh? Bukankah kamu sangat menginginkan hal itu, Fia?" Jevin memborbardir Safia dengan serentetan pertanyaan.
Safia menghentikan aktivitas. Wanita itu menatap tajam mata suaminya. Dadanya kembali sesak. Safia yang pada dasarnya anak manja dan cengeng, kembali menangis. Kali ini meledak tangis wanita berkulit bersih itu.
"Hei ... Safia. Ada apa?" Jevin sungguh bingung dibuatnya. Dia ingin menenangkan sang istri, tetapi kembali Safia tidak mau disentuh.
"Jevin ... kamu ja-hat," umpat Safia terbata karena terisak. "Kamu menyentuh dan mencumbui aku. Tapi ... tapi kamu mengucapkan kata terima kasih untuk Embun. Kamu pikir aku ini apa? Boneka? Atau tempat pelampiasan napsumu saja?" cecar Safia dengan berurai air mata.
Jevin terkejut mendengar penuturan istrinya. Pria itu mengacak rambutnya dengan kasar. Sungguh Jevin merutuki segala kebodohannya. Ketika dia hendak menjawab, Safia sudah berkata lagi.
"Jadi semalam ... kamu membayangkan dirimu sedang bercinta bersama Embun? Iya?!" tanya Safia naik pitam.
"Tidak, Safia, itu tidak benar," elak Jevin cepat. Pria itu menggeleng berulang kali. "Aku tengah berupaya melupakan dia. " Jevin meyakinkan sang istri, "tadi aku cuma -"
"Apa?!" sambar Safia cepat, "kelepasan bicara? Iya?" Mata Safia terus saja membulat.
"Safia ... tolong dengar dulu!" pinta Jevin kembali meraih tangan istrinya. Namun, sepertinya Safia benar-benar marah. Kembali pula wanita mungil itu mengibas tangan Jevin dengan kasar.
"Membayangkan orang lain saat bercinta itu dosa, Jevin," tutur Safia seraya mengelap sudut matanya dengan punggung tangan. "Zina hati itu namanya," lanjutnya sedih, "dan terlebih lagi, Sa-kit Jevin. Hatiku sungguh sakiiit," teriak Safia marah. Air matanya kembali bercucuran.
"Emm ... ma-af Safia." Jevin menangkupkan kedua tangan di dada. "Sumpah! Tadi aku benar-benar tidak sengaja," ucap Jevin penuh penyesalan.
"Cukup sudah, Jevin!" potong Safia keras. "Memang tidak ada secuilpun cinta untukku darimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gairah Sang Sahabat (21+ Tamat)
RomanceMencintai kekasih teman itu menyakitkan. Namun, ketika takdir justru mempertemukan, kita bisa apa? "Aku dijodohkan dengan cowok yang kucinta, tapi dia pacar sahabat dekatku." Kehidupan Safia berubah total saat dirinya harus menikah dengan Jevin, pac...