Keesokan pagi, Safia membuka mata. Ekor matanya menyapu sekeliling. Wanita itu tampak bingung dengan keadaan sekitar. Namun, lekas dia teringat kejadian apa yang membuatnya sampai berada di di sini.
Safia sedikit tertegun menyadari Jevin tertidur sembari menungguinya. Kepala pria itu menindih lengannya. Pelan Safia melepas jeratan itu sehingga membuat Jevin tersadar. Pria itu merenggangkan kedua tangan ke atas, lalu mematahkan kepala ke kiri dan kanan.
"Fia," sebutnya kemudian. "Apa? Apa yang kamu rasakan?" Jevin menunjukkan perhatian.
Safia tidak menjawab. Bibirnya serasa enggan untuk membuka mulut. Apa yang dilihatnya kemarin sungguh menyakiti hatinya.
"Fia ... apa yang kamu lihat tidak seperti yang kamu pikirkan." Jevin berusaha meyakinkan melihat kemuramam pada wajah sang istri.
"Entah alasan apa yang mau kamu utarakan untuk menjelaskan peristiwa kemarin, aku tetap tidak respek," tukas Safia menatap datar muka suaminya. "Kamu pria beristri. Dan Embun wanita yang sudah cukup dewasa, akan ada banyak fitnah jika kalian selalu lengket seperti itu. Apalagi kalian adalah mantan sepasang kekasih." Safia membeberkan dengan menekan rasa sakit.
Jevin terdiam. Ketika dirinya hendak membuka mulut masuklah dokter beserta perawat untuk memeriksa.
Dokter paruh baya berkumis tipis itu lekas mengecek keadaan Safia. Pria itu menempelkan stestoskop pada dada Safia, lalu mengamati lecet-lecet kecil pada kening dan siku wanita itu.
"Detak jantungnya normal, tekanan darahnya normal. Luka lecet ini juga akan segera sembuh." Dokter itu mengulas.
"Kapan saya boleh pulang, Dok?" tanya Safia tidak sabar.
Dokter dan perawat tersenyum mendengarnya. "Secepatnya kalo Anda rajin meminum obatnya," jawab dokter itu santun.
Lalu kedua tenaga medis itu pun berlalu untuk memeriksa pasien lain. Tidak lama dari itu, datang lagi petugas lain yang mengantar jatah sarapan pagi untuk Safia.
Jevin ingin menunjukkan perhatiannya pada Safia. Namun, Safia terus saja mengabaikan. Apalagi saat adik dan ibunya berkunjung, Jevin segera diusir halus sang istri.
Pria itu menurut. Dirinya lekas beranjak pergi dan melangkah cepat menuju mobilnya. Jevin merasa sangat capek dan masih mengantuk, sehingga ia memutuskan untuk pulang ke rumah saja. Hari ini dia akan absen dari pekerjaan.
Seharian pria itu mengunci diri di kamar. Omongan Yuki tempo malam kembali terngiang. Dia juga teringat ucapan ibunya. Semua itu sungguh membuat hatinya semakin galau.
Tidak perlu mamanya mengungkit semua kebaikan keluarga Safia pada dirinya dan juga sang ayah, karena Jevin juga mengingatnya. Namun, perjalanan cintanya dengan Embun yang tidak sebentar juga tidak bisa dinafikan.
Embun hadir menyapa hidup Jevin ketika dirinya tengah terpuruk. Karena telah kehilangan gadis masa kecilnya, yaitu Safia kecil anak dari supirnya. Dan kehidupan melankolis Embunlah yang membuat diri Jevin selalu merasa ingin melindungi gadis itu.
Semesta semakin membuat Jevin merasa sesak. Ponsel pintarnya dari tadi terus saja berteriak minta diangkat. Dan nama Embun yang tertera di layar.
Jevin telah membuat keputusan. Dia akan meninggalkan Embun dengan bersungguh-sungguh. Walau harus menekan ego baginya tak mengapa. Asal ibundanya selalu bahagia dan sehat terus.
Merasa cukup berleha-leha di rumah, Jevin kembali ke rumah sakit guna menjenguk istrinya. Dan Safia masih memperlakukan dia dengan dingin seperti tadi pagi.
Hati Safia masih sakit atas pengkhianatan yang Jevin lakukan padanya. Sehingga wanita itu memilih untuk mendiamkan saja sang suami. Bahkan sampai keesokan harinya, ketika Safia diizinkan pulang oleh dokter, wanita bertubuh putih bersih itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun di sepanjang perjalanan pulang. Dirinya hanya menjawab seperlunya saja.
Lalu ketika mereka telah tiba di rumah, Safia menepis tangan Jevin yang ingin memapah jalannya. "Tidak usah! Aku bisa sendiri," tolak Safia dingin. Tertatih wanita itu masuk rumah dan menaiki anak tangga menuju kamar.
Melihat jalan Safia yang masih tampak begitu kepayahan, Jevin segera membopong tubuh istrinya.
"Auww! Turunkan aku, Jevin!" teriak Safia lumayan kaget saat tiba-tiba tubuhnya melayang di udara. Wanita itu memukul kesal dada bidang suaminya. Tetapi Jevin bergeming dan terus saja melangkah menuju kamar.
"Kamu marah padaku?" tanya Jevin usai merebahkan tubuh Safia di ranjang kamar. Safia langsung bangkit duduk dan menyeringai datar mendengar pertanyaan itu.
"Jevin .... " Safia mulai menatap manik suaminya. "Sebaiknya kamu lepaskan saja diriku." Jevin terkesima mendengar kalimat yang dilontarkan oleh istrinya itu. "Karena ... aku tidak mau terus mengharap cinta darimu. Aku lelah," lanjut Safia pasrah.
"Fia ...." Jevin meraih jemari istrinya. "Aku sungguh minta maaf. Aku sadar jika selama ini telah banyak melukai perasaanmu," ucap Jevin tulus, "tapi, kamu juga harus tau. Kalo aku ini bukan tipe seorang yang gampang move-on." Jevin berkilah, "butuh proses dan waktu untuk melupakan Embun," lanjut Jevin lirih.
Safia tersenyum kecut mendengar penuturan getir suaminya. Pelan wanita itu berujar, "tak perlu repot kamu melupakan Embun, kembalilah padanya!"
Jevin kembali tercengang mendengar penuturan istrinya.
"Aku merelakan kalian bersatu." Safia mencoba tegar dengan melukis senyum tipis di bibir. "Toh nadzar orang tua kita sudah terpenuhi kok. Walau cuma sebentar perjodohan ini, tapi aku yakin ... ayah kita di surga pasti memahaminya."
Hati Jevin merasa tersentuh mendengar penuturan bijak dari Safia. Pelan dia meraih jemari sang istri, lalu menggenggamnya erat.
"Tidak, Safia." Jevin menggeleng. "Bukankah waktu itu aku sudah berjanji di depan penghulu dan saksi, kalau aku akan membahagiakan dan menggaulimu dengan sebaik-baiknya. Jadi ... izinkan aku mewujudkan janji itu," pinta Jevin tulus.
"Tapi, kamu tidak mencintai aku." Safia menggeleng ragu.
"Aku akan berusaha," janji Jevin kembali meyakinkan dengan menatap Safia serius, "dan segera berusaha untuk melupakan Embun," lanjutnya terdengar pasrah.
"Dan berusaha untuk mencintai aku?" tanya Safia dengan pancaran yang berbinar. Ada pengharapan lebih pada sorot lentik itu.
Jevin hanya terbuai saja tanpa mau menjawab pertanyaan sang istri. Namun, tangan pria itu meraih kepala Safia, lalu membenamkannya erat ke dada bidangnya.
"Jevin ... tolong jawab pertanyaan aku," pinta Safia sembari melepas dekapan suaminya.
"Aku akan berusaha." Jevin menjawab lirih.
"Terima kasih," ucap Safia bahagia. Wanita itu kembali menyelusup ke dada suaminya. "Dan tolong anggap keberadaanku, Jevin!" pinta Safia lagi dengan nada mengiba.
Sekali lagi Jevin hanya terdiam. anya tangannya saja yang terus terlihat membelai lembut rambut sang istri. Merasa kurang puas dengan diamnya Jevin, Safia mengurai pelukan. Wanita itu kembali mencecar jawaban lewat tatapan sendunya pada Jevin.
"Ya." Jevin berjanji dengan mengukir senyum samar.
Kembali mata Safia berbinar ceria mendengarnya. Merasa bahagia, wanita itu berjinjit. Jevin paham. Pria itu lekas menunduk dan membuka sedikit mulutnya. Safia mengecup pelan.
DING DONG
Tiba-tiba terdengar bel rumah berbunyi. Tangan Jevin yang sudah mulai memeluk erat pinggang ramping Safia, melepaskannya perlahan.
"Siapa sih ganggu aja?!" sungut Safia merasa sebal. Wanita itu dengan manja kembali memeluk mesra suaminya.
Jevin tersenyum geli. "Aku lihat dulu siapa yang datang, ya," ujar Jevin hangat. Dia mengurai pelukan.
Walaupun bibirnya mengerucut manja, tetapi Safia mengangguk juga. Jevin tersenyum ceria. Sebelum berlalu turun pria itu mengacak gemas rambut istrinya.
"Iya ... tunggu sebentar!" teriak Jevin menanggapi bunyi bel yang terus saja berbunyi.
"Sapa sih sebenarnya?" gumam Jevin penasaran. Pria itu menuruni anak tangga dengan cepat.
"Semoga saja bukan Embun." Jevin berharap cemas. Pasalnya sedari kemarin panggilan Embun ia abaikan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gairah Sang Sahabat (21+ Tamat)
RomanceMencintai kekasih teman itu menyakitkan. Namun, ketika takdir justru mempertemukan, kita bisa apa? "Aku dijodohkan dengan cowok yang kucinta, tapi dia pacar sahabat dekatku." Kehidupan Safia berubah total saat dirinya harus menikah dengan Jevin, pac...