Yeon Ae usia 8 tahun...
Gadis bangsawan kecil itu berlutut di sisi ayahnya yang berdiri tegak dengan kedua lengan saling bertaut di belakang pinggangnya. Air matanya mengalir deras. Kedua telapak tangannya ia katupkan dan gesek-gesekkan, sebagai tanda memohon ampunan.
"Ayah, kumohon, hentikan! Dia bisa mati, Ayah..."
Namun sang ayah bergeming, dengan sorot mata tajam ke arah sesuatu di dalam karung yang sedang dipukuli oleh pelayannya.
"Dia tidak bersalah, Ayah. Akulah yang memaksanya untuk bermain di sawah. Aku yang bersalah. Hukum saja aku, jangan hukum pelayanku..."
"Dia bersalah, karena membiarkanmu mengajaknya," kata ayahnya dingin.
Setelah ayah mengangkat tangannya, barulah pelayan berhenti memukul. Yeon Ae berlari dan membuka karung yang menggulung tubuh pelayannya. Ia menjerit pedih melihat sekujur tubuh gadis pelayan itu bermandikan darah.
"Bok Yi-ah!!!"
Gadis pelayan itu tak bergerak. Yeon Ae ingin memastikan pelayannya masih hidup atau sudah mati, tapi ia terlalu takut untuk mengguncang tubuhnya. Pelayan laki-laki menyentuh leher Bok Yi, memeriksa apakah nadinya masih berdenyut. Ia memanggil temannya, kemudian membungkus kembali tubuh Bok Yi sebelum diangkut.
"Bok Yi mau dibawa ke mana?" Tanya Yeon Ae.
"Dikubur. Dia sudah mati."
Dan tangis Yeon Ae kembali pecah.
**************
Masih menangis, Yeon Ae membelai boneka jerami yang dibuat oleh Bok Yi sehari sebelum tragedi itu. Bok Yi adalah anak pelayan yang usianya beberapa tahun di atas Yeon Ae. Bisa dibilang, mereka masih sebaya. Yeon Ae suka bermain bersamanya dan sudah dianggap sebagai sahabat. Namun orangtuanya tidak suka puteri tunggal mereka berteman dengan orang yang kastanya berada jauh di bawah mereka.
Tadi sore saat berjalan-jalan di sekitar rumahnya, Yeon Ae melihat para petani yang sedang menanam padi. Ada beberapa anak petani yang sedang bermain lumpur dan tampaknya menyenangkan. Yeon Ae pun ingin ikut bermain, meskipun Bok Yi sudah melarangnya. Saat melewati jalan setapak, Yeon Ae terpeleset dan tercebur ke dalam lumpur. Bukannya menangis ataupun jijik, ia malah tertawa senang.
Setelah puas bermain, mereka hendak membersihkan diri di sungai agar tidak ketahuan dan dimarahi oleh orang tua Yeon Ae. Sialnya, mereka bertemu ayah Yeon Ae di tengah perjalanan. Dan terjadilah tragedi itu.
Pintu kamar Yeon Ae dibuka dengan kasar. Ibu berjalan sempoyongan, tampaknya ia mabuk. Ia merebut boneka jerami dari tangan putrinya yang meraung-raung. Ia membakar boneka itu.
"Puteri bangsawan tidak boleh bermain dengan orang rendahan, sudah berapa kali ibu bilang?"
Ibu menjambak kepangan rambut Yeon Ae yang meringis kesakitan, "gara-gara kau, ibu dimarahi dan dipukul oleh ayahmu. Gara-gara kau, malam ini ayahmu memilih untuk tidur bersama pelacur yang melahirkan bayi laki-laki itu. Kalau saja kau tidak membuat masalah..."
Cengkeraman tangan ibu di rambut Yeon Ae makin kuat, membuat anak itu menjerit kesakitan, "sakit, bu... sakit..."
"Kalau saja kau terlahir sebagai laki-laki... aku tidak akan menderita seperti ini. Kalau saja rahimku tidak rusak setelah melahirkanmu, aku pasti bisa punya anak laki-laki lagi, dan penyihir tua itu tidak akan membawa pelacur itu ke rumah ini untuk melahirkan cucu laki-lakinya."
Seorang pelayan wanita yang berdiri di dekat mereka merasa iba kepada sang nona kecil. Tidak sepantasnya seorang ibu mengatakan hal-hal sekejam itu kepada anaknya.
*******
Yeon Ae menatap ayahnya yang sedang memangku adik tirinya, sementata ibu tirinya menyuapkan bubur kepada bayi itu.
"Aigoo... aigoo... kenapa celana ayah basah? Deok Jin pipis di celana ayah. Anak nakal," kata sang ayah dengan nada bercanda.
Yeon Ae menoleh saat mendengar suara kekehan pelan di belakangnya. Ibunya terkekeh sinis sambil melihat pemandangan yang tadi dilihat oleh Yeon Ae.
"Waktu kau masih bayi, kau juga tak sengaja mengompoli baju ayahmu. Dia juga menyebutmu anak nakal, namun dengan penuh amarah. Dia bahkan hampir membuangmu lewat jendela."
Ibu sedikit membungkuk, merangkul bahu Yeon Ae, mengecup puncak kepala gadis kecil itu, "kasihan sekali puteriku..."
Ibu melepaskan rangkulannya, berbalik dan berjalan pergi. Namun Yeon Ae sempat mendengar gumaman ibunya, "seandainya bayi laki-laki itu mati, alangkah bagusnya..."
********
Kediaman selir Tuan Im tampak lengang. Yeon Ae melangkah pelan memasukinya. Ia menemukan adiknya, Deok Jin sedang berbaring sendirian. Ia berlutut di sisinya, membalas tatapan bayi yang sedang memandangnya. Wajah Deok Jin sangat mirip dengan Yeon Ae, seperti saudara kandung, padahal ibu mereka berbeda.
Perlahan tangan Yeon Ae terangkat mendekati wajah Deok Jin, menyentuh leher kecilnya.
Seandainya bayi laki-laki itu mati, alangkah bagusnya...
Tangan Yeon Ae naik dari leher menuju pipi. Merasakan kelembutan kulit bayi membuatnya tersenyum. Senyum itu menular hingga membuat Deok Jin ikut tersenyum memperlihatkan sebuah gigi yang baru tumbuh di gusinya. Tangan mungilnya mencengkeram jari telunjuk Yeon Ae, menariknya menuju mulutnya.
"Jangan, Deok Jin. Tangan kakak ada kumannya, nanti kau sakit perut," kata Yeon Ae menarik tangannya. Namun itu membuat adiknya menangis.
Derap langkah mendekati kamar.
"Apa yang kau lakukan kepada putraku!" Tegur ibu tiri.
"Ti... tidak... aku hanya bermain dengan adik..."
Ibu tiri segera menggendong Deok Jin menjauh dari Yeon Ae, "lalu kenapa dia menangis? Kau pasti menyakitinya, iya kan!"
Yeon Ae menggeleng, "aku hanya melarangnya yang mau mengemut jariku. Nanti dia sakit perut..."
"Jangan bohong! Kau pasti mencubit atau memukulnya. Kau pasti iri karena ayahmu lebih sayang kepada anak laki-lakinya."
"Tidak, Bu..."
"Aku bukan ibumu. Ibumu yang gila itu ada di rumah utara. Pergi dari sini!"
Dengan langkah lesu, Yeon Ae keluar dari rumah ibu tirinya. Para pelayan memandangnya iba, namun tak dapat melakukan apa-apa. Mereka tidak ingin bernasib sama seperti Bok Yi yang malang.
Yeon Ae kembali ke dalam kamarnya yang sepi dan dingin. Air matanya meleleh lagi. Tidak ada yang menyayanginya. Tidak ada yang menginginkannya. Hanya Bok Yi satu-satunya, namun dia sudah pergi dari dunia.
Tbc ㅠㅠ
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Concubine (Complete)
Historical FictionAku ingin menjadi kupu-kupu, yang kini sedang hinggap di atas telapak tanganku, lalu kembali terbang menuju taman bunga untuk menghisap madu. Aku ingin menjadi burung pipit, yang sedang bernyanyi di atas pohon tempatku berdiri di bawah rimbunan daun...