Dinner

57 20 4
                                    

Abi baru saja selesai memarkirkan mobilnya digarasi rumah, dan langsung berjalan masuk kedalam. Rumah yang selalu penuh, kehadirannya disambut oleh beberapa pembantu. Abi hanya membalasnya dengan senyum kecil, lalu melangkah kedalam kamarnya.

Belum sempat menaiki tangga, iya melihat seorang pembantu sedang berusaha membersihkan sebuah noda merah. Abi reflek menutup mulutnya dengan tangan, iya tau itu bukan noda minuman atau apapun, tapi sebuah darah. Bukan hanya ada dianak tangga pertama, tapi dianak tangga lainnya juga.

"Bi ... bibik," Abi gemetar, dadanya terasa sesak, langkahnya dibawah mundur, menolak kenyataan bahwa apa yang ditakutkan terjadi.

"Den .... " pembantu itu memegang lengan Abi, namun Abi hanya mengeleng pelan, pandanganya kosong, jantungnya berdegup kencang. "Nyonya Citra jatuh dari tangga, karna sebuah tumpahan minyak."

Dunia Abi seolah berputar, jantungnya seakan berhentin berdetak saat itu juga. Mamahnya, orang yang telah memberikannya kesempatan melihat dunia, celaka karna dirinya. Abdi berengseng itu menipunya.

Abi menggeleng kuat, iya melangkahkan kakinya keluar dengan berlari, bahkan tampa sempat bertanya dimana Mamahnya dan kalaupun dirumah sakit, ada dirumah sakit mana. Abi sudah masa bodo, iya mengeluarkan mobilnya dan memacunya dengan kecepatan tinggi, tangan kanannya terulur untuk mengambil hape yang ada disaku celana abunya. Iya menelpon dalam keadaan kalut.

***
Rasa tumbuh seiring hari dan waktu bersama, logika dan hati yang sering berbeda pendapat, membuat sang empunya harus lebih bekerja keras lagi untuk memahami. Rasya merasakan hal itu. Hari ini, Abdi mengajaknya diner dan Rasya sudah siap sejak lima menit lalu.

Rasya yang mengunakan balutan dress selutut dengan warna hitam, terdapat juga gambar bunga kembang sepatur yang besar dibagian roknya. Rambut depan Rasya diikat dibawah kebelakang, sedangkan rambutnya yang dibelakang digerai begitu saja. Anting kecil dan make up tipis juga menunjang penampilannya, membuat dirinya terlihat cantik dan feminim. Tentu bukan Rasya sendiri yang dandan, sejak Elin tau sang sahabat akan diner, iya langsung meluncur kerumah Rasya, mendadani gadis itu, katanya nanti supaya tidak bikin malu.

Elin tersenyum puas dengan hasil make overnya. Awalnya Elin kira Rasya tak punya gaun atau dress, nyatanya cewek itu punya banyak, disimpan sampai berdebu dilemarinya. Bahkan alat make up, Rasya juga lengkap. Katanya itu semua dibelikan oleh sang bunda, tapi Rasya tak pernah pakai. Elin kembali berjalan, menuju rak untuk menyimpan sendal ataupun sepatu. Dengan sedikit bimbang, Elin memandang satu persatu sepatu yang akan membuat penampilan Elin makin sempurna. Tangan elin terulur, untul mengambil sebuah sepatu hak tinggi berwarna hitam.

Elin kembali mendekati Rasya, dengan sebuah sepatu ditangannya. "Lo pake ini, bisa kan?" tanya Elin menunjukan sepatu pilihannya kepada Rasya.

Rasya malas untuk komentar, jadi iya hanya mengangguk saja. dengan salah satu pipi yang iya topang.

Elin menaruh sepatu itu dilantai dan duduk disamping Rasya. "Ras ... menurut lo, Abdi tulus ngak mencitai lo?" tanya Elin dengan wajah meguratkan keraguan. "Kok gue nggak yakin ya?"

Rasya menoleh, menandang Elin dengan alis bertaut, menandakan dirinya tak paham. Elin peka, kediaman Rasya menandakan gadis tomboy itu tak paham.

"Lo sadar nggak si, ini terlalu cepat?"

Rasya mengangguk walau ragu. "Gue juga sempet bilang gitu."

Elin membuang nafasnya kasar, memandang kesamping dan tersenyum hangat. "Dah lupain aja, lo tau apa yang terbaik buat diri lo sendiri." Elin membenahi baju yang dipakai Rasya.

"Oh iya, gue mau pamit ya." Elin mengambil tasnya yang ada didekat bantal Rasya, iya menyampirkannya dan beranjak dari tempatnya. "Inget bentar lagi Abdi dateng dan semoga pilihan lo nggak salah." pesan Elin sebelum benar-benar beranjak pergi.

Rabi (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang