Tanya

61 22 5
                                    

Elin dan Rasya hendak kekantin, tapi sebelum itu, mereka tak lupa untuk mencoba mengajak Abi,  yang tampak sibuk membaca buku. Langsung saja, Elin menarin buku yang Abi baca dengan senyum tanpa dosanya. "Kantin yuk," ajak Elin.

Abi terdiam, sebelum matanya memandang Elin yang berubah jadi tersenyum lebar. Gerak gerik Abi tak luput dari perhatian Rasya, membuat hatinya mendadak sesak.

"Gue nggak bisa," tolak Abi.

"Hem ... terserah," Rasya berlalu, setelah megeluarkan lontaran kata yang terdengar jutek.

"Gue duluan ya," pamit Elin menyusul Rasya.

"Rasya kenapa?, apa masi marah ya sama gue," batin Abi

***
Dikantin Elin dan Rasya hanya makan dalam diam, entah kenapa mood Rasya mendadak hancur sedangkan Elin, merasa tak enak sendiri, seperti ada yang menggajal.

Elin mendorong mangkok baksonya yang sudah habis isinya. Melirik Rasya yang juga tampaknya sudah selesai. Elin menghela nafas, iya akan mencoba memulai topik.

"Hem .... Ras."

Rasya yang sedang minum jus jeruknya mengakat sedikit wajahnya, memandang Elin yang ada didepannya, tanpa menjawab panggilannya.

Elin paham, mood Rasya buruk, jadi iya hanya maklum saja. Tapi belum sempat Elin mengeluarkan suara.

"Gue boleh nanya ngak sama lo?"

..... sudah Rasya lebih dulu yang bersuara, membuat ucapan elin mengantung begitu saja.

Elin tersenyum. "Ya boleh lah Ras."

"Lo suka sama Abi."

Elin terdiam, sangat terkejut mendengar pertanyaan Rasya. Caranya bertanya pun tak biasa. Rasya memasang wajah datar dan dinginnya, menunjukan rasa tidak sukanya, tapi Elin langsung mengontrol keterkejutannya dengan wajah biasa saja. "Kenapa lo nanya gitu?"

Rasya menaikkan kedua bahunya. "Cuma nanya."

"Tapi pertanyaan lo aneh," selidik Elin yang mencoba mencari tau sesuatu, ada yang Rasya sembunyikan, namun hal itu nyatanya membuat Rasya tambah bad mood, gadis tomboy itu memutar bola matanya malas. "Kalo nggak mau dijawab, ya udah," Rasya berujar sedikit ketus.

Elin hanya menghe nafas. "Hem .... kalo lo udah nanya, gue jawab deh."

"Nggak usah, gue mau kekelas." Rasya berdiri dari duduknya, hendak membayar dulu, yang langsung disusul oleh Elin.

Rasya mengambil uangnya, menyerahkannya pada ibu kantin, setelah itu iya langsung pergi lagi, namun langkahnya terhenti, saat merasakan seseorang menahannya, dengan menarik lengannya. Rasya menoleh, mendapati Abdi disana.

"Hy .... " sapa Abdi. "Kekelas bareng yuk. Lo kan udah selesai makan."

Rasya hanya mengangguk sekali, membuat Abdi begitu senang, ajakannya diterima tanpa ada komentar penolakan. Abdi membiarkan Rasya berjalan duluan dan iya menyusul. Dilorong sekolah, baru Abdi menyeimbangkan langkahnya, walaupun langkah Rasya itu cepat, sampai-sampai Abdi kewalahan.

Dikantin masi ada Elin yang tertinggal, memandang sahabatnya yang telah pergi bersama cowok dengan wajah pongah. "Anjay gue ditingal." umpat Elin

Elin memutuskan untuk kembali kekelas, tanpa ada yang menemani, jalan beriringan atau temen ngobrol, nasib jomblo memang begitu.

Elin hanya menghela nafas, banyak siswa yang memandangnya sampai tak berketip, jangan lupakan kalau Elin itu cantik, pintar mejaga penampilan. Elin cuma hanya memasang wajah biasa, akan tersenyum jika ada yang nekat menyapanya, kalau bersama Rasya, mereka tak akan begini, walaupun baru satu bulan sekolah disini, tapi keganasan Rasya dan gosip tentang hubungannya dengan Abdi, sudah tersebar seantero sekolah.

Elin menghela nafas, saat pintu kelasnya sudah kelihatan, iya mencoba jalan cepat, tapi kalo memang sudah dasarnya iya lambat, mau berusaha sebagaimana pun juga tetap lambat.

"Hah akhirnya sampe," lega Elin yang langsung disambut oleh drama percintaan kelas, Abdi sedang duduk dibangkunya, berusaha dekat dengan Rasya, bahkan cowok itu terus mengoceh demi dapat mengobrol dengan Rasya yang sedang bad mood.

Elin tak mungkin juga kebangkunya, jadi iya lebih memilih duduk disamping Abi yang sedang membaca buku Bahasa Indonesia, cowok itu pasti belajar, karna sebentar lagi ulangan.

Abi menyadari keberadaan Elin, jadi iya langsung menoleh kesamping, mendapati Elin yang sedang menopang pipinya menghadap dirinya. Tersenyum manis dengan binar yang selalu terang.

"Hy," sapa Elin.

Abi membalas sapaan Elin dengan senyum kecil, hingga nampak lah lesung pipi Abi yang terlihat manis.

"Gue duduk disini ya, ngak ganggu kok, lo boleh belajar aja dulu."

Abi mengangguk, kembali fokus pada bukunya, sedangkan Elin langsung mengambil ponselnya. Sepertinya gadis itu tak suka bosan, jadi iya lebih memilih bermain ponsel, menyelam dalam dunia tabu orang.

***
Abi baru saja sampai rumah, mendapati nenek dan kakeknya yang sibuk mengundang orang-orang untuk acaranya besok. Ya, acaranya memang dipercepat, karna sudah tak sabar menunjukan cucunya pada publik.

Abi duduk disamping neneknya, membuat Ana langsung mengulum senyum, mengelus lembut pucuk kepala Abi, tapi Abi hanya menunduk. meremat jari-jarinya sendiri gelisah.

"Ada apa nak?" tanya Ana menyadari kegelisahan sang cucu.

"Nenek yakin?" tanya Abi ragu.

"Yakin soal apa?"

"Soal acara ini, Abi takut nanti malahan bikin kalian malu."

Ana tersenyum, mengusak rambut cucunya. "Siapa bilang hah?"

"Tapi Papa sama Ma_

"Mereka cuma masi marah aja mungkin, setiap anak yang lahir dari darah keluarga Anatama adalah anugrah, bukan aib," jelas Ana.

"Jadi itu termasuk aku." batin seseorang yang mengintip kehangatan mereka dibalik tembok, tanpa ada yang menyadari. Orang itu berpakaian serba hitam, dengan topi dari baju hoodie nya yang menutupi kepala.

"Anak itu nggak boleh bahagia, dia adalah penyebab kehancuran." orang itu berucap dalam hati, dengan tangan yang mengepal kuat. Menyadari waktu dan kondisi tak akan berpihak padanya terlalu lama, iya bergegas pergi, mendendap-endap menuju pintu belakang halaman rumah. Nasib sepertinya memberikan dirinya kemudahan, tapi baru saja berhasil keluar dari rumah itu, sang pemilik rumah malah ditabraknya.

"Kamu siapa?" tanya Naka curiga, iya juga sempat melihat wajah orang yang tertutup hodie itu, kalau dilihat orang itu sepertinya seumuran Abi, tapi setau Naka, Abi tak punya teman, apalagi temen cowok.

Orang itu malah pergi, Naka juga tak sempat menahannya, dia lari lewat pintu pagar halaman pagar yang tak terkunci, memang mereka sangat ceroboh, membiarkan akses untuk orang jahat masuk kedalam rumah.

Naka sedikit kwatir, iya buru-buru masuk mengecek keluarnya. Naka keruang keluarga terlebih dahulu, iya bernafas lega, saat mendapati kedua orang tua dan anaknya baik-baik saja, sedangkan istrinya sedang kebutik sebentar.

Naka diam disana, memperhatikan wajah polos Abi yang sedang tertidur dipangkuan sang nenek, sedangkan kakeknya yang duduk disamping istrinya terus mengusap lembut pucuk kepala Abi.

"Abi sudah tidur ya?" tanya Naka polos, sudah tau anaknya tidur masi bertanya, tapi dengan senyum lembutnya, Ana tersenyum dan mengangguk.

"Aku bawa kekamarnya ya," pinta Naka.

Ana kembali memandang Abi, kasihan kalo membiarkan Abi tidur disini, badannya pasti akan sakit, jadi Ana hanya membiarkan saja.

Naka mendekat pada Abi, mengakat tubuh putranya yang ringan itu, membawanya dengan gaya bridal. Naka sungguh miris, sekurus inikah putranya, padahal umur Abi sudah besar, tapi kenapa berat badannya masi seperti anak kecil.

Ana dan Tama tak berkata apa-apa, hanya berharap putranya bisa sadar, untuk tidak menyia-yiakan Abi, karna bisa saja takdir berbelok, saat hambanya benar-benar terluka

Udah 2 kali up dong satu hari ini, jangan lupa vote sama komennya😉

Rabi (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang