Pulangnya Nenek Kakek

67 20 6
                                    

Rasa bersalah terus menyelimuti hati pemuda itu, dalam diam beribu pikiran mengajal hatinya. Tak seharusnya iya sekarang masi memijak bumi, namum karna gadis itu dirinya masi disini, bertahan untuk mereka yang tak pernah acuh.

Tidak terasa, mata pemuda itu berkaca-kaca, berusaha mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil. Kini Abi--pemuda itu ada didalam taksi yang iya tumpangi, baju rumah sakitnya telah diganti WC umum rumah sakit dengan seragam sekolahnya tadi.

"Dek sudah sampai," ucap si supir taksi.

Abi mengerjap, menghampus air matanya yang sedikit meleleh tadi. Dengan begitu mudahnya iya memandang supir taksi dengan melengkungkan senyumnya, seolah  tadi iya tak sedang menangis.

"Ini pak ongkosnya." setelah menyerahkan beberapa lembar uang, Abi mengambil tasnya hendak turun.

"Kayaknya adek lagi ada banyak masalah ya." gerakan Abi terhenti, iya memandang lagi sang supir taksi dan tersenyum tipis.

"Nggak kok, Pak." sebisa mungkin Abi mengatakannya dengan mimik muka yang tanpa bebannya itu.

"Percuma disembuyikan, jika mata adek mengucapkan segalanya."

Abi mengigit bibir bawahnya, hingga matanya kembali mengerjap, menunjukan senyum tipisnya. "Mungkin."

Dengan segera Abi turun dari mobil, takut jika bapak itu mengetahui lebih banyak lagi. Kakinya memijak halaman depan rumahnya, menatap pagar menjulang tinggi yang ada didepannya, hingga matanya terus bergerak menatap rumah bak istana itu. "Andai isinya lebih bagus dari wadahnya, dimana didalamnya berisi sebuah kehangatan keluarga."

Abi tersenyum kecut, 'itu tak akan terjadi' pikir Abi.

tangan-tangan kurus Abi terulur untuk membuka pintu gerbang, lalu setelah masuk iya menutupi lagi. Terlihat mobil kedua orang tuanya tampak terparkir apik didepan halaman, ini sangat jarang terjadi, jika tidak ada urusan penting. Dengan cepat Abi melangkahkan kakinya, tidak peduli rasa lemas masi saja menguasai dirinya, bahkan sakit kepalanya saja masi tau mau pergi. Yang terpenting sekarang adalah untuk mengetahui apa yang terjadi didalam.

Abi membuka pintu, sambil mengucap salam didalam hati. Dengan rasa takut bercampur was-was menghatui dirinya, bukan karna itu, Abi pulang telat dengan masi mengenakan seragam sekolah lengkap.

"Dari mana aja kamu?" pertanyaan yang terdengar sangat dingin dan fortal itu membuat Abi membeku, menoleh kesisi kiri, tepat ruang keluarga berada. Dengan wajah sedikit menunduk, Abi menghampiri sang Papa, berdisi didepannya.

"Saya tanya dari mana kamu?. Ini sudah jam tujuh masi berleliaran mengenakan seragam sekolah."

Abi menunduk, megigit bibir bawahnya dalam, mana mungkin iya jujur dan mengatakan sehabis kabur dari rumah sakit. Entah apa dan bagaimama respon kedua orang tuanya nanti.

"Kamu jangan bikin orang pusing ya, stop nyusahin orang tua." Naka menekankan kalimat stop nyusahin orang tua, membuat Abi ingin menyangkal saja, kapan Abi pernah menyusahkan mereka.

"Kakek Tama sama nenek Ana kesini pasti gara-gara kamu kan?" seorang wanita cantik diusianya yang telah mengijak kepala empat, berjalan keruang tamu sambil membawa secangkir kopi. Dirinya tampak memandang Abi-- anaknya sendiri kesal. "Kamu pasti udah ngadu macem-macem sama mereka."

"Eng ... enggak." jawab Abi disertai gelengan kecil.

"Drama. Mamah tau kamu itu sukanya nyusahin, sekarang kamu ngadu sama mereka supaya bisa bikin kita selalu dirumah. Asal kamu tau ya, dari lahir kamu itu emang bawa masalah aja, kamu juga lahir tanpa keinginan da_

"Cukup Ana!" potong Naka yang takut hati anaknya makin terluka. "Sudah cukup atau kita bakal ribut lagi."

Ana memandang kesas suaminya sambil bersidekap dada dengan wajah kesal. "Terserah kamu ya Naka." Ana melengang pergi menuju dapur kembali dengan wajah kesal tentunya. Sedangkan Abi ditempatnya hanya menunduk, jari-jarinya saling meremat satu sama lain. Hatinya tergores lagi, karna ucapan sang Mama.

Rabi (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang