Elin Tau

61 20 4
                                    

Keluarga Anatama bisa kembali berkumpul, disatu meja makan. Menikmati berbagai hidangan makan malam yang telah disiapkan oleh para pembantu. Citra, sebagai sang menantu Anatama pun sudah pulih, dan boleh pulang kemarin. Semua menyambut kabar bik itu, karna tuhan masi memberi kesempatan mereka berkumpul bersama lagi.

Semua orang tampak sudah kenyang, mengisi perutnya dengan berbagai hidangan yang ada diatas meja, namun tak ada yang beranjak, sebelum yang paling tua dan dihormati disana memberi perintah,  maka mereka akan diam.

"Ekhem .... " Tama berdehem, mengundang perhatian semua orang yang ada diatas meja. "Sepertinya saya sudah memutuskan, untuk memperkenalkan Abi secepatnya pada rekan bisnis kita, kalau Abi lah yang akan meneruskan perusahaan Anatama dan perusahaan dari keluarga Citra sekaligus."

"Tapi apa ini ngak terlalu cepat," protes Naka.

Tama menggeleng dan menatap Abi dengan senyum kecil, iya percaya kalau sudah saatnya sang cucu ditunjukan dipermukaan, sudah cukup lama anaknya menyembunyikan, karna masi mengagap lahirnya Abi adalah kesalah, padahal itu adalah kehendak tuhan.

"Abi sudah cukup kalian buang, sudah saatnya orang tau, siapa penerus dua keluarga ternama di kota ini."

"Tapi ini hanya akan mengundang lelucon baru, Papa bisa liat gaya Abi. Sebelum Abi merubah gayanya, aku tak akan setuju soal ini," tentang Naka.

"Itu terserah kamu, lagi pula Papa sudah mengundang kedua orang tua Cintra, untuk datang ke Jarkarta. Ayah juga sudah mengundang beberapa rekan bisnin sekaligus media masa untuk meliput hal ini."

Naka mengusap wajahnya kasar. "Papa tak sadarkan ini salah?"

"Apanya yang salah?"

"Papa hanya akan membuat malu keluarga, memunculkan sang pewaris dengan gayanya yang masi begitu." Naka emosi, menunjuk-nujuk Abi dengan jari terlunjuknya, membuat Abi menunduk dengan perasaan terluka lagi.

"Jaga bicara kamu ya!" bentak Ana sudah tak tahan. "Dia ini anak kalian, tapi kalian mengagapnya seolah aib yang perlu ditutupi. Lihat banyak orang diluaran sana, memuja dan memuji anaknya yang suka berbuat seperti berandal, tapi Abi, dia anak baik dan tak pernah merepotkan, tapi kalian malah melukainya setiap hari, dengan kata-kata kasar dan pedas."

"Dia memang aib, aib yang telah menghacurkan banyak hal." Citra berdiri, menekankan kedua tangannya diatas meja. "Kalau saja bukan dia, semua ini tak akan terjadi, semua paksaan ini tak akan mengikat dan memblegu kami."

Mata Citra memandang Abi. Matanya berkaca-kaca meredam emosi. "Dia tak seharusnya ada!"

Abi membelalakan matanya. Hatinya perih tanpa sebab, padahal iya tak tau apa yang dimansud Mamanya, tapi kenapa, akhir-akhir ini banyak orang seolah menunjukan masa lalu pahitnya, dan itu karna dirinya.

"Sudah nak, nggak usah didengerin. Kamu balik kekamar gih," suruh Ana lembut, yang langsung dibalas anggukan oleh Abi. Abi yang sudah berdiri, memandang sekilas satu persatu mata anggota keluarganya.

Semua orang masi diam, walau sudah tiga menit Abi berlalu. Mereka tampak bungkan dengan perasaan campur aduk.

"Dengarkan Papa, keputusan Papa sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat." Tama berdiri dari duduknya, meninggalkan meja makan yang masi hening.

"Tak baik melukai, apalagi dengan kata. Ingat kah kalian, itu kesalahan kalian, tak ada sangkut pautnya dengan Abi." Ana juga beranjak, menyusul Abi dan suaminya.

***
Abi baru saja sampai dikelas, menaruh tasnya diatas kursi dan duduk dengan nyaman. Hidupnya dikelas kembali terasa sepi, Rasya dan Elin benar-benar menjauh, setelah dirinya waktu itu mengucapkan segalanya, tentang bagaimana iya risih jika didekati, dan semakin tak nyaman jika mereka terlalu perhatian. Nyatanya itu hanya bualan belaka, demi mengikuti permintaan Abdi. Abi tau, Abdi ingkar, tapi dirinya sudah memutuskan untuk tak melakukan hal yang sama, mungkin ini yang terbaik dan sudah menjadi takdir tuhan.

Rabi (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang