Rasya, Elin, dan Abi kini sedang berkumpul dikantin. Elin lebih memilih untuk mengajak Rasya menenangkan pikiran dikantin, bersama Abi juga. Dan sangat kebetulan hari ini jam terakhir juga kosong, jadilah mereka kumpul dikantin agar tidak bosan menunggu bel pulang berbunyi.
Setelah 15 menit kumpul dalam satu meja, bahkan kini masing-masing makanan mereka telah habis, tetap tak ada percakapan yang keluar. Pikiran mereka sama-sama melayang pada kejadian lalu yang ada dikelas, jujur mereka sama-sama tak enak hati.
Rasya tak enak hati karna kembali membuat keributan didepan Elin. Elin tak enak hati karna berpikir Rasya marah padanya, sedangkan Abi, iya mengagap kejadian tadi adalah murni salahnya. Seharunya Rasya tak terlalu menanggapi semua ejekan siswa padanya.
Walau pada dasarnya mereka tidak ada yang salah, mereka berbuat karna ingin melindungi, mereka salah karna melakukan hal yang benar.
Didetik kedua puluh menit, Elin yang dasarnya cerewet tidak tahan, iya menghembuskan napasnya kasar. Elin sedikit memberanikan diri menatap sahabatnya Rasya. "Maaf ... kalo emang gue salah."
"Seharusnya gue yang minta maaf." ucap Rasya dengan nada menyesal, plus dengan mata yang menyiratkan bahwa dalam hal ini iya yang salah. "Gue udah bikin masalah yang bisa aja ikut nyeret kalian."
"Nggak Ras ... gue yang salah." Rasya dan Elin menatap Abi dengan kening berkerut. "Nggak seharusnya kalian deket-deket gue, karna itu cuma bakal ngundang masalah aja."
Abi berdiri dari duduknya, iya sedikit tersenyum kecil hingga nampak lesung pipinya. "Makasi ya atas semua yang udah kalian lakuin." Di akhir kata Abi tersenyum kecil lagi, senyum yang penuh akan ketulusan, membuat Rasya untuk pertama kalinya luluh dibuat itu.
Abi yang telah memutuskan pergi tiba-tiba tangannya dicekal, membuatnya berhenti dan kembali berbalik. Abi tidak menyangka Rasya akan melakukan itu, gadis itu benar-benar menghentikan Abi dengan dengan tatapan yang mampu membuatnya membeku. "Mungkin kali ini gue pengen egois, keluar dari karakter gue yang keras, tapi jujur disaat seperti ini gue emang selalu lunak dalam segala hal, jujur waktu gue sampe mukul Abdi dan ngebalas ucapan dia, itu cuma karna satu hal." Rasya menjeda kalimatnya, menatap manik mata kelam milik Abi lebih dalam.
"Dan hal itu karna gue nggak tahan ngeliat lo terus dipermalukan didepan temen-temen lo, dan entah kenapa disaat kita pertama kali bertemu, gue udah bikin janji sama diri gue sendiri buat ngelindungin lo, membantu semua permasalahan hidup lo yang gue kira pelik."
Semua membeku, hampir tak percaya kalau kata-kata itu keluar dari mulut Rasya, terlebih lagi Abi. Ini baru pertama kalinya iya melihat sisi lain dari Rasya yang dikenal tomboy.
"Gue nggak nyangka, ternyata sebelum gue ngusul itu, loh emang udah kepikiran." Elin mengehembuskan napashya kasar. menatap Abi yang terlihat masi tidak mengira. "Abi lo denger kan ucapan Rasya?, jadi sekarang lo aman dalam lindungan kita." Elin tersenyum tulus, benar-benar menambah kecantikan Elin luar dalam.
"Makasi ya atas semuanya," balas Abi yang terlihat sedikit berkaca-kaca, mungkin ini adalah untuk pertama kalinya iya melihat ketulusan dari orang lain.
"Jujur gue masi trauma sama kejadian masa lalu, tapi untuk kali ini gue bakal usaha, supaya kejadian masa lalu tak terulang lag." batin Rasya
***
Memang tidak pernah ada yang tau isi perut bumi, padahal baru tadi siang, sinar matahari begitu menyengat dan membakar kulit, tapi kini mendung malah sudah mendominasi.Menjelang hujan seperti ini, memang kadang cuaca berkali-kali lipat lebih dingin. Jas sekolah tipis yang dipakai Abi saja masi belum bisa memberikan kehangatan untuk tubuh ringkihnya.
Abi terus berdiri didekap halte, menunggu kendaraan umum lewat, atau sekedar taksi mungkin. Tubuhnya sudah kelewat lelah, banyak ruam sudah bermunculan dan kulitnya juga jadi agak memerah karna sinar matahari yang memberinya cahaya panas hampir empat jam lamanya. Padahal Abi masi sangat ingat betul, kalau sinar matahari adalah musuh terbesar tubuhnya.
Abi berdecak kesal saat menyadari taksi benar-benar tidak ada yang lewat, hingga pada akhirnya iya mendudukan dirinya dibangku halte. Iya sudah merasakan ada gelagat tidak enak dalam dirinya, seperti pusing, dan agak sedikit mual.
Abi menundukan kepalanya, tangannya sibuk meremat bangku halte untuk menahan sesuatu yang hendak keluar dari mulutnya. p
Perutnya terasa diaduk-diaduk, menambah rasa pusingnya. Cukup lama dalam posisinya, hinga sebuah benda hangat terasa mendekap tubuhnya, memberika rasa hangat yang sedikit meredakan rasa pusingnya. Abi mendongak, walaupun rasa pusing masi mengusainya, tapi samar-sama iya melihat seorang gadis menatapnya kwatir, memberinya sebuah jaket untuk menyelimuti tubuhnya."Lo masi kuat jalan kan?, setelah ini kita langsung keruma sakit."
Abi hanya mengangguk, iya terlalu sulit membuka mulut, takut sesuatu akan semakin mendesak keluar dari mulutnya. Sepertinya gadis itu paham, iya hanya mengangguk, lalu seterusnya memapah tubuh Abi, membantunya masuk kedalam mobil.
Setelah tubuh Abi sudah bersandar dengan nyaman, gadis itu juga langsung masuk kedalam mobil. duduk disamping Abi yang telah memejamkan matanya.
"Pak langsung kerumah sakit ya," suruh gadis itu--Rasya, pada supirnya.
"Jangan," tolak Abi dengan suara serak dan lemah. Rasya yang ada disampingnya sampai mengerutkan keningnya. "Anter gue pulang saja."
Mau tak mau gadis itu mengangguk, iya menyuruh supirnya mengatarkan Abi pulang, kealamat yang sudah gadis itu tanyakan.
Selama perjalanan, hanya hening yang mereka rasakan. Abi fokus memejamkan matanya sedangkan Rasya hanya terus menatap kwatir kearah Abi, jujur dirinya baru pertama kali menolong orang yang sedang sakit seperti ini, terlebih saat menatap Abi, sering kali hatinya berdenyut nyeri.
Tiga puluh menit tak berarti apa-apa, akhirnya mereka sampai didepan rumah Abi, dengan pintu gerbang nampak masi terkuci, rumah Abi yang begitu mewah dan megah cukup lama mengunci pandangannya Rasya, tapi ada satu hal yang janggal, rumah itu sepi.
"Ras ... makasi ya udah nganterin pulang. oh iya, aku juga ngak bisa nawarin kamu masuk, soalnya aku sendiri dirumah."
"Lo bilang lo sendiri, lo yakin tinggal sendiri ngak ada yang nemenin?, atau gue anter dulu kerumah sakit?"
Abi menggeleng dan tersenyum kecil. "Nggak perlu, lagian gue udah biasa sendiri kok." Abi membuka pintu mobil lalu turun. Sebelum menutup kembali Abi sedikit tersenyum kecil pada supir Rasya dan Rasya, iya juga melambaikan tangannya. Akhirnya pintupun kembali ditutup, dengan Rasya yang sepertihya membeku dengan ucapan Abi
"Nggak apa-apa, lagian gue udah biasa sendiri kok."
Entah kenapa, kata-kata itu terdengar menyayat hati. hingga pandangan Rasya kembali kearah rumah, yang terasa hampak tak ada kehangatan. Rintik-rintik hujan turun, membasahi kaca mobil, membuat Rasya tersadar dari lamunannya
Rasya menghembuskan nafasnya pelan, kembali menatap kedepan. "Pak jalan Pak .... " suruh Rasya. Iya menatap tasnya, mengambil ponselnya yang ada ditas. lalu sebuah nada sambung terdengar selanjutnya.
"Halo Ras, tumben lo hubungin gue. Ini gue baru aja sampe rumah."
"Elin ... gue nggak nanya."
Rasya dapat menebak, kini disebarang telepon sang sahabat pasti sedang cemberut dan memasang mukak masam. "Jangan masang mukak cemberut, oh iya gue ngubungin lo karna ada info."
"Info apa?" tanya Elin terdengar antusias. memang kadang temannya yang satu itu selalu saja antusias akan apapun.
"Gue tau siapa anak bos lo. Dia seumuran kita, satu sekolah dan satu kelas." ucap Rasya yang sengaja hanya memberi tahu itu, agar bisa membuat sang sahabat penasaran.
"Siapa-siapa Ras ... kalo ngasi info jangan setengah - setengah."
"Justru itu, gue mau ngasi info setengah dulu. babay." Rasya menutup teleponnya, lalu tertawa geli saat dapat menebak kalau Elin pasti sedang mencebik kesal sambil mengabsen nama-nama binatang yang ada dikebun binatang
Eits jangan kira, Elin seorang gadis cantik dan feminim itu kalem ya, dia juga sama, liar, barbar dan ngak punya urat malu, cuma kecantikan dan penampilannya saja yang menutupi.
Boom part buat kalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rabi (Sudah Terbit)
FanfictionSemua kehidupan mengandung kata unik, unik untuk dipandang atau unik untuk diamati, sama seperti keunikan kisah cinta Abi dan Rasya, mereka yang tak sengaja bertemu dan saling melindungi. Abi begitu polos dalam hidupnya, tak suka berharap atau menge...