menjauh

68 22 10
                                    

Rasya dan Elin sudah membereskan bukunya, mendekat ke bangku Abi, untuk mengajakanya ke kantin. Tepukan halus Elin layangkan. Abi mendongak, menatap Elin dan tersenyum kecil.

"Kantin yuk," ajak Elin semangat.

Abi kembali memasukkan bukuya kedalam tas. "Gue nggak bisa, mau ke perpus," jawab Abi tanpa menatap Elin.

"Yah ... kok gitu si, kita ke perfusnya setelah kantin aja," usul Elin yang dibalas gelengan oleh Abi. Abi  berdiri dari duduknya. "Gue mau perfus duluan."

Elin hanya mengangguk, membiarkan Abi pergi, sedangkan Rasya hanya memandang datar. Bersidekap dada, dengan mata yang juga melirik kepergian Abi, dengan rasa kecewa.

"Ras kenkantin yuk."

Elin dan Rasya menoleh, mendapati Abdi yang mengajak mereka kekantin dari seberang bangku.

"Gue mau kekantin sama Elin," tolak Rasya.

"Hem ... kalo gitu kita kekantinnya sama-sama aja, oh iya, Abi mana?"

"Kalo itu gue setuju," balas Elin tersenyum kecil, namun mendadak hilang saat akan menjawab pertanyaam Abdi, mengenai kemana Abi. "Dia ke perfus."

Abdi mengangguk paham. "Ya udah, kekantin sekarang yuk."

***
Abi sudah berada didepan perpus, entah apa yang sekarang bisa iya lakukan disini. Tak ada alasan sebenarnya yang membuat Abi memilih tempat ini untuk perlarian. Tapi tidak masalah juga, perpus sedikit sepi, hanya siswa cerdas atau yang sedang kesasar kesini, makannya perpus lebih sering kosong, kecuali ada tugas yang mengharuskan.

Abi berjalan mendekat, kejajaran buku yang tersusun rapi, tak ada niatan untuk Abi membaca, tapi tak bagus juga kalau sudah datang tak membaca atau sekedar melihat satu persatu halaman buku lebih jauh. Abi mengambil sebuah buku bercover putih, dengan judul 'Kumpulan Puisi Romantis'. Abi membawa buku itu kemeja yang sudah disediakan disana.

Dengan nyaman, Abi mendudukan bokongnya, membuka lembar pertama buku itu, yang berisi nama-nama penulis. Ternyata tak dibuat oleh satu orang saja, tapi ada lebih dari sepuluh orang. Abi kembali membuka halaman selanjutnya, berisi kata pengatar, daftar isi dan terus selanjutmnya, hingga sebuah karangan puisi yang dibuat dengan begitu apik muncul. Abi membaca dalam diam, terus membuka halaman selanjutnya jika sudah selesai.

Suasana tenang menghayutkan, membuat dirinya terbawa arus isi puisi itu, ingatannya tentang perasaannya pada Rasya menghentikan aktifitas Abi membaca. Abi bertanya pada dirinya sendiri, apakah itu benar cinta?, atau hanya saja perasaan nyaman?.

Tak ada jawaban, dirinya tak paham sedikitpun tentang cinta, jadi dari mana dirinya akan mendapat jawaban. Lalu pertanyaan lain kembali muncul. Jika itu benar cinta, haruskah Abi hapuskan atau perjuangkan?.

Banyak orang menolak kehadirannya, terutama Kakak Rasya, apakah masi ada harapan untuk dirinya berjuang?.
Abi merasa kurant pantas, dirinya banyak kekurangan, Rasya jauh lebih sempurna. Abi tak punya kelebihan tapi Rasya, gadis itu punya banyak sekali, bisa menutupi satu kekurangannya. Buktinya Abdi saja sampai jatuh cinta pada seorang Rasya.

Abi melipat tangannya diatas meja, menegelamkan wajahnya disana. Seburuk itukah Abi?, sampai tak ada orang yang sudi menerimanya. Lagi pula apa mangsud Abdi kemarin, tentang keluarganya, yang kehilangan kebahagiaan?.

Abi meletakkan bukunya, menopang dagunya dengan satu tangan. Dirinya duduk termenung, dari mana awal masalahnya berasal, sepi? atau ada hal lain?.

Kriing ... kriiing ....

Abi mengerjap, iya bangkit dari duduknya, menaruh buku yang iya baca ketempatnya berasal. Ini sudah jam masuk, sudah saatnya Abi kembali kekelas.

***
Abi menjauh, iya benar-benar manjauh, membuat Rasya merasa gundah dan kehilangan. Seolah, sesuatu yang besar telah direngut dari hidupnya. Rasya diam, tak berkata apa, walau dalam hati kecewa dengan sikap Abi.

Rabi (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang