Rasa Hangat Yang Tak Kunjung Didapat

59 23 11
                                    

Abi berjalan masuk kedalam rumah, untuk pertama kalinya, Abi kembali merasakan sapaan hangat dari para pekerja rumah. Meja makan yang selalu kosong pun kembali tampak terisi penuh makanan dan orang-orang menanti kehadirannya.

Abi senang, berlebih senang. Dirinya yang tidak diharapkan, akhirnya dinanti, walau cuma sementara, karna apa yang didapat bisa saja hilang dalam sekejap.

Abi melengkungkan senyumnya. Senyum penuh kebahagiaan seolah semua selalu baik-baik saja. Manik matanya yang kelam dan penuh luka, dipancarkan dengan indah dan penuh kehangatan.

"Abi ayok sini, kita makan siang bareng yuk," suara lembut wanita yang telah menginjak usia lima puluh tahun keatas, terdengar mengalun indah, suara keibuannya benar-benar telah merasuk sejak dulu hingga sekarang.

"Hem ... bener tu kata Nenek kamu, lagian ngapain kamu ngelamun disana hah?"

"Iya Kek, Nenek." Abi tersenyum kikuk, iya mendekat dan duduk disamping neneknya, berhadapan langsung dengan wajah Mamahnya yang selalu terlihat cantik. Rambut sebahu, dengan make up yang tak terlalu tebal, karna memang sudah cantik dari dulunya, bahkan hanya pakaian santai, khusus dirumah tetap terlihat kalau iya wanita karir.

"Abi makan yang banyak ya." Ana menyodorkan sepiring makanan dengan bonus usapan lembut dikepala belakang Abi. "Kamu kurus banget loh, nenek kemarin sampe kaget, apa kamu tidak pernah dikasi makan?"

Uhuk.

Kedua pasangan suami istri itu tampak kompak tersedak makanan yang  baru satu suapan masuk kedalam mulut mereka, membuat Tama memandang curiga. "Apa benar kalian nggak pernah kasi makan?"

Kedua orang tua itu bungkam, bukannya tak pernah dikasi makan, mereka dirumah saja jarang, tapi kalo soal uang, mereka selalu memberinya cukup bahkan lebih. Tapi kalau menjawab itu, apa tidak akan kena marah.

"Pertanyaan Kakek aneh deh." sambar  Abi dengan tawa kecilnya. "Mana ada orang tua yang tega nggak kasi makan anaknya."

"Tapi kenapa rumah ini nggak ada pembantu atau apapun apa?, apa Papa dan Mamahmu selalu dirumah, mengurusmu dengan baik?"

Abi megigit bibir bawahnya, meremas sendok yang iya pegang. Sekilas hatinya merasa kembali perih, apa yang ditanyakan sama sekali tidak ada yang dilakukan oleh orang tuanya. Mata Abi terarah untuk memandang Naka dan Citra yang sedang gelisah. Abi mengehbuskan napasnya pendek dan mulai memasang topeng kebahagiaannya.

"Iya dong Kek, Mama selalu siapin keperluan Abi, terus urus rumah, bahkan masak pagi-pagi untuk keluarga. Hem ... Papa juga sama, Papa suka pulang cepat, terus bantu Mamah deh." senyum Abi merekah, dia telah membohongi orang lain dan dirinya sendiri. Apa yang diucapkan tak lebih hanya angan yang selalu iya harapkan jadin nyata.

"Kalo sibuk begitu, kenapa kalian nggak nyewa pembantu?, supaya waktu kalian sama Abi lebih banyak."

"Hem ... itu Mah, hem .... " jawab Citra yang tampak kebingungan harus menjawab apa, iya tidak tau menau soal alasan putranya tidak mencari pemambantu.

"Abi yang larang Kek, Abi lebih suka diperhatiin langsung dibanding prantara lewat pembantu."

Entah dari mana datangnya, sesak menghujam dada Citra begitu keras. Kenapa Cintra merasa itu bukan sebuah jawaban, kalau sebenarnya itu adalah sindiran untuk dirinya.

"Lho kok gitu, Abi nggak boleh gitu lho, kasian Mamah sama Papa kamu capek."

"Sekarang Nenek kamu juga udah bawah banyak pembantu sama pekerja lainnya, jadi ngak boleh ditolak ya, biar orang tua kamu bisa istarahat lebih lama."

Nasehat Kakek dan Neneknya secara bergantian dengan cara halus, membuat Abi kembali mengukir senyum indah, dengan lesung pipinya yanh tercetak jelas. "Apapun nasehat Nenek sama Kakek pasti Abi turutin."

Rabi (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang