MOS 9

1.9K 52 7
                                    

Steve Timothy's POV

" Aku rela kamu menyingkirkan aku dari matamu. Namun aku tak rela jika kamu menyingkirkan aku dari hatimu," - Steve Timothy

Beberapa kali aku menoleh pada Steffy yang duduk membisu di sebelahku. Aku tidak tahu apa yang sedang difikirkannya.

"Kamu memikirkan aku, Tif?" Aku mengusiknya dengan harapan dia akan tersenyum malu seperti biasa.

Namun usikanku sedikit pun tidak membuatnya menoleh kepadaku. Dia tetap membuang pandangannya ke arah luar.

"Tiffany...kenapa? " aku bertanya.

"Aku letih. Dan aku tidak mahu berbual, Steve," katanya dengan wajah tegang. Suaranya juga tidak mesra seperti selalu.

"Owh..maaf," kataku.

Jika ditanya perasaanku saat ini, sudah pasti aku mengatakan bahawa perasaanku sangat terluka. Dia, gadis yang beberapa malam ini tidur berbantalkan lenganku, saat ini enggan menatapku biarpun hanya dengan sebelah mata.

"Tiffany," aku memanggil namanya tika keretaku telah sampai di halaman rumahnya. Dia tidak menoleh. Pandangannya masih dibuang ke luar kaca keretaku.

"Tidak mahu turun? Kita sudah sampai, sayang," aku mencium sekilas pipinya.

Tanpa mengatakan apapun, dia menanggalkan tali pinggang keledar yang dipakainya. Setelah itu, dia terus membuka pintu kereta dan melangkah keluar.

"Tiffany," aku juga ikut keluar.

"Kenapa, sayang?" aku menarik tangannya yang kini memegang beg pakaiannya.

"Selamat tinggal, Steve," ucapnya.

"Selamat tinggal? Maksudnya?" Steffy menarik tangannya dari peganganku.

"Kamu tidak tahu maksud ucapan selamat tinggal?" tanyanya.

"Owh..." aku melepaskan tangannya.

Aku terluka dengan ucapannya. Selamat tinggal, aku tahu maksud ucapan itu. Tetapi mengapa begitu awal? Atau lebih awal mungkin lebih baik.

"Okey, Tiffany. Selamat tinggal," ucapku.

Sakit dan berat untuk melafazkan ucapan perpisahan. Tapi jika dia sudah mengucapkan 'selamat tinggal' , aku juga harus mengucapkan 'selamat tinggal'.

"Take care, Steve," ucapnya. Aku mengangguk perlahan seraya menatap lama ke wajahnya. Mungkin ini kali terakhir aku berpeluang menatap wajahnya.

"Take care, Tiffany," kataku.

Ingin sekali aku memeluknya untuk kali yang terakhir. Pelukan sebagai sepasang kekasih. Aku tidak pasti apakah setelah berpisah kali kami akan bertemu lagi satu hari nanti.

"May I hug you for a while?" Dia mengangguk.

Aku mendekat padanya. Aku meraihnya ke dalam pelukanku. Ku dakap tubuhnya dengan erat.

"I'm sorry, Tiffany," ucapan maafku kerana telah mengambil kesuciannya yang seharusnya diserahkannya kepada lelaki yang bergelar suaminya.

"I'll miss you, Tiffany,"aku merasakan mataku panas. Oh, aku menangis kerananya. Aku menangis kerana seorang gadis yang sudah mencuri hatiku.

" Will you remember me? " tanyaku.

Steffy hanya tersenyum. Senyuman tawar yang mengatakan dia tidak akan menyimpan aku dalam ingatannya.

"It's alright. I understand," kataku.

Aku tidak berhak untuk memaksanya agar selalu mengingatiku. Terpulang kepadanya. Mungkin baginya, apa yang terjadi antara kami adalah kenangan yang tidak harus disimpan. Biarlah, ini juga lebih baik. Agar dia tidak menangis saat aku pergi meninggalkannya suatu hari nanti.

♥️♥️♥️

"Makan ubat ni, Steve," ibuku  menghampiri sofa tempat aku berbaring. Di tangannya segelas air kosong serta beberapa biji ubat penahan sakit.

"Keadaan kau makin memburuk, Steve," Roger membantu aku mendudukkan tubuhku.

"Lebih baik kita ke hospital saja," cadangnya.

"Tidak perlu. Nanti setelah aku makan ubat, rasa sakitnya akan hilang," kataku.

"Itu hanya painkiller, Steve. Menghilangkan rasa sakit untuk sementara sahaja," ucap Roger.

Aku malas untuk berbahas dengannya. Setelah ubat tahan sakit aku telan, aku memintanya membantuku berbaring semula. Aku memejamkan mata, berharap agar rasa sakitnya akan segera hilang.

" Steffy tahu? " Roger bertanya tiba-tiba. Mujur saat itu hanya tinggal kami berdua.

"Dia tidak perlu tahu keadaanku, Rog," jawapanku membuat Roger mengerutkan dahinya.

"Kenapa? Dia berhak tahu," suara Roger sedikit meninggi.

"Dia tidak berhak tahu," kataku.

Apa hak Steffy untuk tahu seburuk apa keadaanku. Dia bukan sesiapa. Dia sendiri yang memutuskan bahawa dirinya enggan berada di sisiku.

"She is your girlfriend, Steve. Your future wife."

"No. She's nobody."

"Steve?"

"Dia sudah mengucapkan selamat tinggal, bro. Aku sakit. Dia masih muda untuk menghabiskan hidupnya bersama lelaki berpenyakit seperti aku," kali ini Roger terdiam.

Dari raut wajahnya aku tahu dia menyimpan rasa kesal dan marah.

"Bukan salah Steffy. Jangan pernah menyalahkannya," kataku.

"Tapi aku tidak menduga dia...,"

"Dia berhak bahagia. Aku lebih senang jika dia memilih lelaki lain untuk jadi pendamping hidupnya," sambungku.

Semua lelaki punya impian untuk hidup bersama satu-satunya gadis yang dicintai. Begitu juga aku. Namun aku lebih rela melepasnya jika dia memikih untuk bahagia tanpa bersamaku.

" Please, Rog. Jangan sampai Steffy tahu keadaanku begini, " kataku.

Seminggu terlantar tanpa mampu melakukan apapun. Aku bersyukur Steffy mengambil keputusan untuk undur diri lebih awal. Aku rela menangis untuk melihat dirinya tertawa.

Aku tidak pernah lagi mahu memikirkan apa alasannya meminta untuk berpisah denganku. Semoga kamu selalu berbahagia, Tiffany, itu doa yang selalu aku pinta untuknya.

Vote dan komen.
Selamat membaca.

Tbc...

My Only Sunshine (✔️ Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang