MOS 10

1.7K 50 2
                                    

" Aku mencintainya, dengan segenap rasa. Aku merinduinya dengan sepenuh hati. Hanya dia.."-Steffy Tiffany

Steffy Tiffany's POV

Aku merenung skrin telefon bimbitku. Pada skrin telefon itu, terpampang gambar  Steve yang curi-curi aku ambil beberapa hari yang lalu.

"I miss you," ku cium gambar itu.

Bibirku terasa bergetar. Teringat bagaimana rasa bibir Steve saat dia mencium bibirku. Air mataku menitis satu-satu.

Rindu! Aku merinduinya. Baru beberapa hari berpisah dengannnya, namun rasa rindu yang menghambatku terasa luar biasa.

Aku teringat semuanya tentang dia. Tentang senyum dan tawanya. Tentang suara indahnya tatkala dia memanggil namaku atau saat dia mengucapkan betapa dia mencintaiku.

Pasti Steve menyangka aku minta berpisah dengannya kerana aku membencinya. Namun sejujurnya itu bukan alasan aku memilih untuk mengucapkan selamat tinggal kepadanya.

Aku tidak pernah membencinya. Aku tidak pernah membenci Steve. Tuhan tahu betapa aku sangat mencintainya. Aku jatuh cinta kepadanya tika dia memberikan perhatian kepadaku. Aku jatuh hati kepadanya tika dia menciumku untuk pertama kalinya.

Aku memilih berpisah dengannya kerana aku tidak sanggup menatap penderitaannya. Aku tidak sanggup melihat dia menghembuskan nafas terakhirnya di hadapan mataku.

"Buat apa mencium gambarnya. Lebih baik temui  dan cium orangnya," Lyra melabuhkan punggung di sebelahku.

"Jangan cemburu," aku membalas seraya mencebikkan bibir.

"Siapa yang cemburu. Aku lebih suka kalau kau bercinta dengan Steve," Lyra turut mencuri pandang ke arah foto Steve yang ada pada skrin telefon bimbitku.

"Tapi, kau dan break dengan dia kan?" tanyanya beberapa saat kemudian. Matanya menatap padaku, menantikan jawapan.

" Siapa cakap break?" aku tersenyum tawar.

"Kami tak pernah ada apa-apa. So macam mana nak break?" Aku berdalih.

"Whatever. Tapi kau tak pernah jumpa dia lagi, kan?" Aku menggeleng.

"Kau tidak teringin untuk bertemu dengannya?" Sekali lagi aku menggeleng.

Namun semua yang aku katakan itu bohong belaka. Bohong jika aku mengatakan aku tidak ingin bertemu dengannya. Tidak ada sesaatpun aku tidak memikirkannya. Andai saja aku tidak pernah mengucapkan kata perpisahan kepadanya.

♥️♥️♥️

Steve Hillary's POV

Aku memejamkan mata, menahan rasa sakit yang sesekali terasa menghiris hingga ke tangkai hati. Pain killer yang ku telan ternyata hanya mampu meredakan sakit untuk beberapa ketika sahaja.

"Kita pergi ke hospital sahaja," kata ibuku.

Tangan tuanya mengelap peluh yang merembes membasahi dahiku. Di sebelahnya, ayahku hanya memandang dengan wajah sedih. Wajah sedih yang tidak sanggup ku pandang dan tidak sanggup aku tinggalkan bila tiba saatnya nanti.

" Nanti, ma, " balasku sambil berusaha untuk duduk.

"Ahh..," tubuhku terbaring kembali.

Sakit. Air mata lelakiku hampir menitis. Keadaanku semakin memburuk. Sejak dua hari yang lalu aku hanya mampu terbaring.

"Kita ke hospital," sekali lagi ibuku memujuk.

"Untuk apa? Untuk siapa? Jika satu-satunya gadis yang aku cintai sudah memutuskan untuk tidak mahu bersamaku."

Aku menggeleng perlahan. Ada seseorang yang ku tunggu. Seseorang yang memberiku harapan, memberiku kekuatan untuk terus hidup.

Steffy..hanya dia tujuan hidupku kini. Hanya dia. Dia ibarat udara yang memberi nafas kepada nyawaku. Namun kini, Steffy memutuskan untuk mengucapkan selamat tinggal, sekaligus membawa pergi tujuan hidupku.

Ibuku menitiskan air mata melihat gelenganku. Tanpa sepatah kata dia meninggalkan aku terbaring sendirian di atas sofa di ruang tamu. Aku tahu dia kecewa. Maafkan aku, mama.

Aku mencapai telefon bimbitku. Foto-foto Candelier aku tatap satu persatu. Rasa rindu segera menerpa.

"Rindu...," aku berbisik perlahan.

Foto Candelier sedang duduk di bawah sepohon ru di tepi pantai menarik perhatianku. Dalam foto itu, Candelier terlihat sangat cantik. Rambutnya yang panjang dibiar lepas hingga melambai-lambai saat ditiup angin.

Aku ingat lagi, saat itu adalah saat di mana pertama kalinya Steffy mengatakan dia menyintai aku.

Rasa sebak menghambat hati. Tidakkah dia teringat kepadaku. Apakah kisah kami  selama seminggu bersama langsung tiada makna baginya?

" Siapa dia?"suara ayahku memutuskan lamunanku.

Aku menoleh dan tatapanku bertemu dengan tatapan penuh tanda tanya ayahku. Aku terlupa ayahku masih ada di ruang tamu.

" Siapa..maksud papa? " aku meletakkan kembali telefon bimbitku di sebelah bantal.

" Papa tidak buta," jawabnya.

"Dia punca kamu tidak mahu ke hospital?" ayahku masih menatapku.

"Dia bukan sesiapa, pa," aku menjawab dengan pedih.

Rasa sangat pedih di dalam dada tika mengatakan bahawa 'dia' bukan sesiapa dalam hidupku. Sedangkan 'dia' lah makna terbesar dalam hidupku.

"Katakan pada papa. Jika dia punca kamu  mengalah untuk hidup, papa sanggup bertemu dengannya. Papa sanggup merayu padanya," tutur ayahku.

"Jangan, pa. Dia sudah memutuskan untuk pergi. Biarkan dia bahagia," kataku.

"Asalkan kamu tidak membantah untuk ke hospital," ayahku memberi syarat.

Vote dan komen.
Selamat membaca.

Tbc....

My Only Sunshine (✔️ Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang