MOS 13

1.6K 53 10
                                    

"Pertemuan sekali ini begitu bermakna bagiku. Malamku yang suram, kini kembali bercahaya. Bintang yang sempat terpadam, kini kembali berkerdipan-Steve Timothy"

Steve Timothy's POV

Bersendirian mengundang fikiran untuk berkelana. Ingatanku melayang jauh lalu hinggap pada satu wajah. Wajah manis yang mendesak jemariku menari-nari di atas papan kekunci telefon bimbitku.

" Apa khabar gadis kesayanganku?" Pesanan yang begitu ringkas aku hantar pada Steffy.

Aku tidak lagi mahu menahan perasaanku. Tidak tahu berapa lama lagi Tuhan memberiku waktu untuk bernafas. Aku ingin waktu yang hanya sedikit ini ku isi bersama gadis yang aku cintai.

Aku tidak pasti apakah dia akan membalas pesanan yang ku hantar kepadanya. Namun, mencuba lebih baik daripada aku hanya berdiam diri dan menunggu.

Di luar dugaanku, tidak sampai seminit, pesanan yang ku hantar mendapat balasan daripadanya.

"Steve, I miss you" aku membaca berulang kali.

Bagaikan tidak percaya. Ku celikkan mataku lebar-lebar untuk memastikan pesanan itu bukan imaginasiku semata. Dan..nyata. Ini bukan ilusi atau imaginasi.

"I miss you too, my dear lover. I 💖💖💖💖💖💖💖 you. Aku sangat mencintaimu, Tiffany.

Tidak pernah ada seharipun aku berhenti memikirkan dan mencintaimu." Segera ku hantar mesej selanjutnya.

Ku perhatikan mesej yang ku hantar. Mesej itu segera bertanda double blue thick. Sejurus ku terima balasan daripada Steffy.

" Aku juga sama, Steve. Tidak pernah ada seharipun aku berhenti memikirkan kamu. Aku cinta..aku rindu."

"Kalau benar rindu, kalau benar cinta, mengapa menilih mengucapkan selamat tinggal,?" aku menduganya.

"Bolehkah..jika kami ingin kembali?" aku tersenyum sedih membaca permintaannya.

Katanya ingin kembali. Mengapa dia meminta izin untuk kembali, sedangkan dalam hatiku, dia tidak pernah pergi. Selama ini, namanya masih tersimpan teguh dalam hatiku.

"Kembali? Mengapa ingin kembali?" Begitu balasan daripadaku.

"Tidak perlu kembali kerana kamu tidak pernah pergi, Tiffany. Kamu sentiasa ada dalam ♥️ Steve Timothy. Tapi kamu menyebut 'kami' ?"

Saat Steffy menyebut 'kami' ada sesuatu yang segera terlintas dalam fikiranku. Sudah lebih sebulan sejak aku 'bercinta' dengannya. Percintaan yang begitu bergelora. Malam itu, tiga kali kami ' bercinta'. Dan tiga kali juga aku menanam benih ke dalam rahimnya. Apakah mungkin...

Aku sangat bahagia jika benar Steffy mengandungkan anakku. Tetapi dengan keadaanku yang begini, bagaimana aku mampu membahagiakan mereka?

Apakah Tuhan berhati lembut, memberiku waktu yang lebih panjang untuk menjadi seorang suami buat Steffy dan seorang ayah buat bayiku yang bakal lahir?

♥️♥️♥️

Steffy Tiffany's POV

"Masuklah. Aku dan Roger menunggu di kantin," ucap Lyra yang menemaniku sampai di pintu wad di mana Steve ditempatkan.

Aku mengangguk sambil jemariku memutar tombol pintu bilik kecil itu. Nun di satu sudut, di atas katil bercadar putih, terbaring Steve dengan mata terpejam rapat. Selimut tebal berwarna hijau tua menutupi tubuhnya hingga ke paras pinggang.

Aku melangkah perlahan, agar tidak mengganggu tidurnya. Aku melabuhkan punggung di atas kerusi plastik berwarna putih yang ada di tepi katilnya.

Tersentuh hatiku melihat keadaannya. Tubuhnya kurus. Wajahnya terlihat pucat. Mataku singgah pada bibirnya yang pucat dan kering.

Tangan kiriku menolak beberapa helai rambutnya yang menutupi dahinya. Aku menahan rasa sebak. Lututku terasa lemah dan seluruh tubuh terasa gementar.

Begini rasanya melihat orang yang dicintai terbaring tidak berdaya, menahan kesakitan yang tiada tara. Air mataku jatuh tanpa aku sedari. Beberapa butir jatuh menimpa pipi Steve, membuat kelopak matanya spontan terbuka.

"Tiffany...," dia menyebut namaku yang ku sambut dengan anggukan.

"Maafkan aku," aku menyembamkan wajah ke dadanya.

"Shhh..jangan menangis, sayang," tangannya mengelus rambutku dengan lembut.

"Maafkan aku. Aku tidak tahu kamu sakit..sampai begini...," kataku. Tanganku masih memeluk erat tubuhnya.

" Jangan bersedih. Jangan menyalahkan diri," ucapnya. Suaranya bergetar dan sedikit tertahan.

Bagaimana aku tidak bersedih. Bagaimana air mataku tidak jatuh. Bagaimana hatiku tidak retak saat melihat keadaannya begini.

"Stop crying, honey," dia mengangkat wajahku.

"Jangan habiskan waktu ini dengan menangis, hmm..," dia mengelap air mataku dengan hujung jarinya. Ku perhatikan matanya juga merah dan basah. Dia menangis sepertiku.

"Kita sudah bertemu kembali. Ini sudah memadai bagiku, Tif," dia kemudian mencapai jemariku dan menyelitkan jemarinya di antara jemariku.

"Aku mencintaimu. Sampai ke nafas terakhirku, aku mencintai kamu. Sampai ke degup jantung terakhirku, akan ku genggam erat jemariku. Namun...," dia berhenti sejenak.

Matanya merenung jauh ke dalam mataku. Menyalurkan satu tatapan sendu, yang terasa menghunus ke tangkai jantungku.

" Namun, andai..., " aku segera menggelengkan kepala.

" Steve..jangan ucapkan, " pintaku. Tidak rela aku membiarkan dia melanjutkan kata-katanya.

" Tiffany...," dia mengeratkan genggamannya pada jemariku.

"Andai aku pergi..aku rela kamu mencari penggantiku. Aku rela kamu mengalihkan cintamu, Tiffany," dia berhenti lagi.

"Tak..aku tak rela. Kami tak rela," aku terisak seraya menggelengkan kepalaku berulang kali.

"Kami? Aku hampir lupa untuk menanyakannya. Siapa 'kami' yang kamu maksudkan, Tiffany?" dia bertanya.

"Kamu mengandung, Tiffany?" begitu tepat dia meneka. Namun, aku punya rencanaku sendiri.

" Aku akan menjawabnya setelah kamu sembuh dan keluar dari wad ini," kataku.

Steve kelihatan kecewa. Wajahnya muram. Maafkan aku, Steve. Ku lakukan semua ini demi 'kita'. Ku kucup bibirnya sebagai penamat pertemuan kami petang itu.

Vote dan komen.
Happy reading.

Tbc...

My Only Sunshine (✔️ Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang