Dreams|Bagian Tujuh

151 27 5
                                    

Wajah itu, wajah yang familiar. Namun, pernah kulihat dimana lelaki ini? Aku tak terlalu memperhatikan wajahnya, sebab aku sadar diri akan posisiku sebagai wanita, dan wanita haruslah menunduk dihadapan lelaki yang bukan mahramnya.

Hanya dapat kurasa, dia begitu dingin dengan sejuta pesonanya. Dari wangi tubuhnya saja, aku yakin banyak wanita yang menginginkannya. Dia seperti pria pemeran utama di cerita romantis dalam novel Wattpad yang biasa kubaca.

Ada apa sebenarnya dengan hidupku? Setelah berada dalam kehidupan Alora yang bagaikan putri di negeri dongeng, sekarang aku berada di kehidupanku sendiri, namun aku bagaikan pemeran wanita dalam kisah romantis.

Apakah kisahku akan seperti kisah-kisah di novel itu? Diajak menikah, diperlakukan posesif, dia dingin namun romantis? Memikirkannya membuat pipiku merona. Astaghfirullah! Apa yang kau pikirkan Najwa?

Masalah kemarin dan tadi saja belum selesai, sudah mau menambah masalah baru lagi aku. Ya Allah, kapankah ini semua berakhir?

"Sudah cukup menghayalnya, fucking girl?"
Suara berat itu menyentakku dari lamunanku.

Sekarang, tak ada lagi yang kupikirkan selain amarah dari pria dihadapanku. Aku telah memecahkan bingkai fotonya.

"Kau harus diberi hukuman atas kesalahanmu," ucapnya dengan nada yang mengancam, membuatku merinding ketakutan. Aura mengintimidasinya sangat kentara.

"Cih, dihari pertama saja kau sudah berani berbuat kesalahan," dumelnya, kemudian berteriak memanggil pelayannya untuk membersihkan kekacauan yang telah kuperbuat.

"Sekarang, ikut aku," perintahnya setelah memastikan ruangannya telah bersih.

Namun, bukannya aku mengikutinya, aku malah terdiam dan masih menunduk. Aku masih berperang dalam pikirku.

"Apa perlu kuseret?" tanyanya, membuatku segera mengikutinya.

Dapat kulihat dari arah belakang, dia begitu karismatik. Badannya tinggi nan berotot, cocok sekali memerankan tokoh CEO yang dingin.

Namun, sikapnya tidak bisa kuterima. Dia kasar dan suka mengancam. Dia selalu diikuti aura dingin yang mencekam. Apa dia juga seorang ketua mafia? Gangster? Psikopat?

"Hentikan pikiran burukmu terhadapku! Kau tidak lebih baik dariku."

Kutambahkan satu opsi lagi tentangnya. Dia seorang cenayang. Dia tahu apa yang tengah kupikirkan tentangnya. Berada di dunia seperti apakah aku ini?

Dia berhenti di depan pintu sebuah ruangan. Ruangan ini terletak di lantai dua rumahnya itu. Selain itu, ruangan ini juga beda letaknya dengan ruangannya tadi.

"Ini kamarmu. Semua barang-barangmu sudah ada di sana," ucapnya, setelah ia buka pintu ruangan yang ternyata sebuah kamar itu.

 Semua barang-barangmu sudah ada di sana," ucapnya, setelah ia buka pintu ruangan yang ternyata sebuah kamar itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamar yang sangat besar. Tiga kali lipat dari kamar yang ada dirumahku, dan dua kali lipat dari kamar Alora. Kamar yang fantastis.

"Nikmati waktumu. Sebelum hukuman dariku berlaku," bisiknya tepat di telingaku. Dapat kurasakan dia begitu dekat denganku, tepat di belakangku.

Dada bidangnya bersentuhan dengan punggungku, sedang nafasnya terasa hangat di telingaku.

Saat aku berbalik hendak protes, dia sudah berlalu.

***
Dreaming
***

Aku masih tidak menyangka dan menduga tentang semua ini. Semuanya begitu tiba-tiba dan tak terduga. Aku tidak tau lagi, yang mana mimpi dan yang mana nyata.

Jujur saja, aku merindukan kehidupan normalku. Walau nyatanya kehidupanku itu juga sangat menyedihkan. Setidaknya hal itu masuk akal, dibandingkan dengan semua ini.

Mengambil alih hidup orang lain, disayangi, merasa ada, namun kebohongan belaka. Kembali, tapi semuanya tak sama lagi. Dijodohkan untuk membayar hutang-hutang papiku, untuk memperkaya mamiku.

Selanjutnya apa lagi?

"Apa kerjaanmu memang hanya melamun saja?"
Suara berat itu lagi-lagi menyentakku dari lamunanku.

Entah bagaimana dia bisa berada di sini. Sebab yang kuingat, aku sudah mengunci pintu kamarku tadi.

"Aku menggunakan kunci cadangan," ucapnya santai.

Lagi-lagi dia menjawab pertanyaan dalam benakku. Apakah benar dia seorang cenayang? Ataukah memang dia bukanlah manusia. Apa aku sedang berada di kerajaan Jin? Astaghfirullah, nauzubillah.

"To the point saja. Mamaku menyukaimu. Maka dari itu, aku membelimu," ucapnya serius.

Apa katanya? Membeliku? Jadi, aku baru saja diperjual belikan. Belum sembuh luka dihatiku, hatiku tergores lagi.

"Seminggu lagi kita akan menikah. Saya sudah menyiapkan segalanya. Besok Mama akan datang. Kuharap kamu bersikap baik padanya," katanya yang membuatku tercengang. Seminggu bukanlah waktu yang lama. Bahkan aku tidak punya kesempatan untuk memutuskan.

"Kamu adalah milikku, sebab aku sudah membelimu. Kamu akan selalu berada di sisiku, tapi tak berarti kau berhak atasku," jelasnya lagi yang hanya menambah beban dan lukaku.

"Ini adalah kontraknya, dan sudah ditandatangani oleh ibumu. Maka dari itu, kamu tidak bisa mengelak dan pergi dariku."
Ia masih melanjutkan perkataannya tanpa peduli akan perasaanku.

Dengan gagahnya, dia berdiri di depan jendela kamar yang kutempati, kedua tangannya ia masukkan ke dalam kantong celana bahannya. Sedangkan ia sudah melepaskan dasi dan jas yang tadi melekat ditubuhnya, menyisakan kemeja putih yang lengannya sudah digulung setengah.

"Tugasmu hanyalah menjadi istriku di depan orang-orang. Namun, saat kita berdua saja, kita hanyalah orang asing," ucapnya kemudian.

Aku hanya bisa terus mendengar ucapannya, tanpa berniat tuk menyela. Aku hanya ingin tau, seberengsek apa pria dihadapanku ini.

"Setelah menikah, kita akan tinggal di rumah ini. Bagian rumah yang ditempati kamarmu ini, adalah wilayahmu. Sedangkan sisanya, adalah wilayahku. Kau tak boleh melanggar batasanmu."
Dia berbalik ke arahku, kemudian menunjukkan batas-batas wilayahku, dengan tab yang entah kapan sudah berada di tangannya.

"Bayaranmu atas itu, kekayaan orang tuamu. Dan aku akan menghidupimu, seumur hidupmu. Kau boleh menghabiskan uangku sebagaimana wanita pada umumnya."
Kemudian dia menyebutkan keuntunganku dibeli olehnya. Membuatku berdecih dalam diamku.

"Kuharap kamu sudah mengerti," ucapnya sebelum berlalu dari kamarku, meninggalkanku yang terdiam masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

Hidupku yang aman, damai, kacau balau. Aku tak tahu dimana kakiku sekarang berpijak. Hanya Allah---Tuhanku yang dapat menolongku.

Kulihat jam yang tergantung di dinding, sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Namun, aku tak tahu jam berapa aku berangkat kemari tadi. Yang jelas langitnya masih cerah, tak segelap sekarang.

Kuputuskan untuk shalat malam, meminta petunjuk kepada Allah atas apa yang telah terjadi. Aku harap, ada petunjuk yang kudapat. Aku butuh petunjuk dari-Nya untuk jalan yang berliku ini.

Where I am?

***
Dreaming
***

Dreams ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang