Dreams|Bagian Dua puluh Satu

102 25 4
                                    

Hutan belantara, pepohonan rindang, menjadi pemandangan utama dalam malam yang sepi tak berbintang. Jalanan panjang terpampang dihadapan, sebuah mobil melaju dengan kencang.

Aku ada di sana, menatap ke depan, dengan ketakutan. Kumenoleh ke samping ke arah kemudi, aku tercengang seketika. Aku melihat diriku dengan penampilan yang berbeda. Tanpa jilbab dan baju tertutup.

Tidak! Aku salah. Aku hanya memandang dari kejauhan. Raga yang terlihat sama itu, mereka tengah bertengkar dalam keadaan mobil yang melaju di tengah perjalanan.

“Kau egois! Kau punya segalanya! Kenapa tidak kau biarkan aku miliki yang kau punya?” teriak perempuan yang tengah menyetir tersebut dengan penuh amarah. Dia menepis tangan perempuan yang berada dikursi kemudi, yang berusaha menghentikannya.

“Jangan seperti ini Alo, kumohon. Kau punya pena sendiri tuk menulis ceritamu. Tolong jangan klaim ceritaku atas namamu,” lirih perempuan dikursi kemudi tersebut, dia memohon.

“Najwa akan hilang, dan Alora yang kan berkuasa,” seringainya. Dia membelokkan mobilnya masuk kedalam hutan---meninggalkan jalan yang seharusnya.

Mobil itu menuju sebuah jurang, tapi sang pengemudi tak ada niat tuk berhenti. Alhasil, mobil tersebut terjun bebas, terguling-guling hingga mencapai dasar jurang.

Bahan bakarnya merembes, mengalir bersama dengan cairan pekat berwarna merah--- baunya begitu khas. Perempuan yang berada dikursi kemudi, yang penampilannya tertutup---100% mirip denganku, memandang ke arahku.

Dengan mengangkat sebelah tangannya, dia meraih pipiku. Dia hendak mengatakan sesuatu. Namun, tak sampai, cahaya terang menjemputku, membawaku masuk tenggelam olehnya.

Sekelebat potongan cerita yang terlintas itu, untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan Alora. Dalam jiwa dan raga yang berbeda.

Pertanyaannnya... Where are you, Alora?

Jika semua peristiwa yang kujalani nyata adanya, yang manakah kilasan masa lalu? Ataukah yang ada malah kilasan masa depan? Yang pasti, aku masih tenggelam dalam rasa kebingungan---berusaha menggapai jawaban.

Samar-samar, aku mendengar. Ada yang tengah berargumen, dengan suara yang lantang di balas lirihan. Seorang wanita paruh baya, tengah bertengkar dengan seorang pria.

“Kau apakan istrimu Hanan? Kenapa bisa dia babak belur begini?” tanya suara wanita paruh baya dengan nada frustasi yang amat kentara.

“Mama tau, selama ini kau tidak memperlakukannya dengan baik---selayaknya istrimu. Bahkan kalian pisah ranjang, punya batas wilayah, Mama biarkan! Kau tau kenapa? Karena Mama berharap, kau akan luluh seiring berjalannya waktu,” ujar suara wanita paruh baya itu lagi, yang sepertinya suara mama Lana---mama Mr. Hanan.

Apa aku kembali ketempat terkutuk itu lagi? Mansion mewah, tapi berupa neraka. Sekarang, pertanyaan dalam benakku bukanlah lagi, 'apakah ini nyataku ataukah haluku? Melainkan, 'Ini masa lalu ataukah masa depanku?’

“ Mama tak habis pikir. Apa kurangnya istrimu Hanan? Betapa sabarnya dia menghadapi sikapmu yang arogan dan pemarah itu!” teriak mama Lana, berdengung di telingaku. Membuatku memaksakan diri tuk membuka mataku.

Seluruh badanku terasa sakit, perih dimana-mana. Tangan dan kakiku, sulit tukku gerakkan. Aku terbaring di ranjang yang sama seperti hari-hari sebelumnya---ketika aku berada di dunia yang satu ini.

“Mama tak bisa tinggal diam. Kau harus diberi pelajaran. Mama akan membawa istrimu pergi, dan Mama akan kembalikan ketika kau telah sadar akan rasamu sendiri. Sampai saat itu tiba, jangan cari istrimu!” tegas mama Lana, tapi tidak seperti awalnya---aku mendengar, Mr. Hanan kali ini tidak protes.

Setidak berarti itukah aku dalam hidupnya?

“Awwsh ...” ringisku, saat kucoba untuk beranjak dari tidurku.

Derap langkah kaki terdengar, mama Lana dan Mr. Hanan menuju ke arahku dengan tergesa.

“Kau sudah bangun sayang? Apa yang kau rasakan? Kau butuh sesuatu?” tanya mama Lana bertubi-tubi, aku membalasnya dengan gelengan dan senyum hangat. Berusaha memberitahunya, bahwa aku baik-baik saja.

Sedangkan Mr. Hanan, berdiri dengan arogan. Tatapannya datar, sulit tukku artikan. Apakah aku sedang berharap dikhawatirkan olehnya? Sepertinya ... aku telah terbiasa dengan keromantisan Adnan.

Berbicara soal mas Adnan dan Mr. Hanan, apakah kasusnya sama sepertiku dan Alora? Apakah mereka juga orang yang berbeda baik jiwa maupun raga? Hanya saja, mereka memiliki kemiripan yang hampir sempurna.

Namun, berbeda denganku, namaku Najwa dan dia Alora. Sedangkan mas Adnan dan Hanan, panggilan berbeda, dengan nama yang sama---Adnan Al-Hanan.

Ataukah, sekarang aku tengah berada di masa lalu, dan melihat sikapnya terhadapku diawal kami bersama? Maka dari itu dia memperbaikinya di masa depan, yang baru kudatangi beberapa waktu yang lalu? Memikirkan semua kemungkinan tersebut membuatku pusing tujuh keliling.

Pertanyaannya ...

Kenapa aku bisa menjelajah waktu antara masa lalu dan masa depan?

Apakah kilasan memori itu hanyalah haluku semata, sebab aku terlalu khawatir akan hidup yang kuambil alih diambil alih kembali?

Apa? Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah Alora itu benar adanya?

***
Dreaming
***

Setelah melihat respon Mr. Hanan yang tidak  kuharapkan, di sinilah aku berada---Di kediaman mama Lana. Di sebuah ranjang yang baru pertama kali aku tempati.

“Maafkan Mama yah sayang, membiarkanmu menikah dengan anak tidak berperasaan itu,” ucap mama Lana menatapku sendu.

“Untuk sementara waktu, tinggallah bersama Mama di sini. Lihatlah, anak itu akan merasa menyesal telah menyia-nyiakan wanita sebaik dirimu,” katanya lagi, kali ini mengelus kepalaku yang masih terbalut jilbab.

“Ini ponselmu. Anak nakal itu pasti tidak membiarkanmu memegang ponsel bukan?” ujarnya memberiku sebuah ponsel, aku menerimanya dengan tanganku yang masih dapat kugerakkan.

“Mama tinggal yah, kamu harus banyak istirahat,” ucapnya lagi sebelum akhirnya meninggalkanku sendiri dalam ruangan yang begitu asing bagiku.

Ada satu fakta lagi yang kuketahui tentang diriku di tempat ini, ragaku tidak menuruti jiwaku. Ragaku bertindak tanpa memperdulikan jiwaku---apakah jiwaku berkenan ataukah tidak. Dia akan terus melakukan hal apa saja semaunya.

Seperti saat ini. Jari-jariku dengan lincah mengetik sebuah nomor pada papan kontak telepon. Nomor yang bahkan tidak kuketahui, hanya begitu familiar.

“Halo Awa. Are you okey? Astaga! Kamu kemana aja?” Ujar seorang pria di telepon dengan nada yang panik. Aku hanya terdiam kebingungan, membiarkan ragaku berlaku sesukanya.

“Jadi, semua yang dikatakan papimu itu benar? Astaga! Kamu dimana sekarang?” ujarnya lagi. Seolah-olah dia tengah berbincang denganku, tapi sama seperti yang lainnya, mereka berbicara seorang diri tanpa respon dariku. Ceklis, itu juga aneh.

“Baiklah. Tunggu aku disana, aku akan menjemputmu,”  ucapnya, kemudian menutup telepon secara sepihak. Aku hanya dapat memandang aneh pada telepon yang berada dalam genggamanku.

Tidak ada satupun peristiwa yang masuk akal, yang terjadi padaku beberapa bulan terakhir ini. Seperti berada dalam dunia fantasi yang tak berlogika. Tak ada jawaban dan penjelasan, yang ada hanyalah pertanyaan yang terus bertambah setiap harinya.

Aku tak lagi memegang kendali pada pena milikku, ceritaku sudah di bajak oleh mereka yang tidak  kutau siapa. Membuatku tersesat dalam kisah yang  kutulis sendiri. Aku tidak tau jalan ceritanya, alurnya terkoyak dengan tokoh yang tak kukenali. Endingnya yang biasanya dapat kutebak, tak lagi tertebak. Yang ada suram dan buram.

Jika terus seperti ini, bukuku takkan rampung tepat pada waktunya. Yang kutakutkan, sang waktu tak dapat lagi menunggu.

Jadi, apa yang harus kulakukan?”

***
Dreaming
***

Dreams ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang