Dreams|Bagian Dua puluh

104 22 7
                                    

Di sinilah sekarang aku berada, di rumah mama Uci.

Selepas kami makan malam, kami berkumpul di ruang tamu untuk mengobrol bersama. Namun, walau mama Uci, papa Arsen, dan Kak Awan menerima dengan baik mas  Adnan, tapi tidak dengan Kak Awal. Sedari tadi, dia hanya memandang dingin tak banyak bicara.

Padahal biasanya, kak Awan yang bersifat demikian, tapi kali ini, entah kenapa kak Awal yang melakoninya. Memang sedari awal, ketika mas Adnan menjemputku di rumah ini, kak Awal-lah orang yang paling tidak menyetujui hubungan kami. Namun, aku tidak menyangka sampai sejauh ini.

Kupikir, dia akan terima seiring dengan berjalannya waktu. Nyatanya, sampai saat ini, dia masih juga belum bisa menerima kenyataan bahwa adiknya telah menikah. Jujur, aku tidak tau harus bersikap bagaimana terhadapnya.

“Bagaimana nak Adnan? Alo-nya merepotkan tidak?” tanya papa Arsen pada mas Adnan, membuatku melirik mas Adnan, penasaran akan jawabannya.

Sedangkan mas Adnan yang duduk bersebelahan dengan kak Awan dan kak Awal pada sofa yang berada di depanku dan mama Uci, tersenyum menyeringai kearahku.

“Alhamdulillah tidak Pa. Malah aku yang sering merepotkan,” jawab mas Adnan dengan mengedipkan satu matanya sambil menatapku, membuatku speechless seketika.

“Eh, yang bener? Kalau kamu yang merepotkan dia itu wajar nak. Kan dia istrimu, itu sudah tugasnya,” timpal mama Uci tersenyum menggoda kearahku. Kemudian memberikan nasehatnya dengan tenang.

“Kalau orang ini merepotkanmu berlebihan, lapor saja padaku. Nanti kuberi dia pelajaran,” sinis kak Awal, membuat suasana yang tadinya hangat, segera berubah.

Aku memandangnya sendu, lalu tersenyum. Berharap, dia mau menerima jalan cerita hidup adiknya, yang memang sudah seperti ini. Mama Uci menggenggam tanganku, tersenyum kearahku, seakan mengatakan 'semuanya kan baik-baik saja'.

“Hahaha, kak Awal becandanya kelewatan nih,” ucap kak Awan diselingi dengan tawa. Membuat kami menatap heran kearahnya. Dia yang datar nan dingin bisa bersifat seperti itu juga. Mirip sekali dengan mas Adnan---seperti bunglon, berubah-ubah tergantung pada tempat ia berpijak.

“Garing kamu,” kekeh papa Arsen, membuat kak Awan menggaruk tengkuknya salah tingkah. Setidaknya, dapat mencairkan suasana.

Ting Tong ... Ting Tong ... Ting Tong

Suara bel rumah menggema di ruang tamu, membuat kami berhenti sejenak tuk berbicara. Saat mama Uci hendak beranjak untuk membukakan pintu, aku menahannya. Aku yang pergi untuk melihat siapa yang datang dan membukakan pintu untuk tamu tersebut.

Aku berjalan mendekati pintu. Sebelum kubuka ... aku mengintip dari jendela. Seorang pria tengah berdiri di sana, dan aku mengenalnya.

Ceklek ...

Dia melihat kearahku---menatapku dengan intens, saat telah kubuka pintu dengan lebar. Dia berjalan menuju diriku perlahan, aku terdiam.

“Alo. I Miss you so bad,” ujarnya sedikit berbisik. Dia tengah memelukku erat, dan aku tidak menolak, tidak pula menerima.

Dia, Nathaillah Arsyakha. Sepupu yang merangkap jadi sahabatku---di duniaku. Namun, kenapa dia memanggilku Alo, buka Awa seperti biasanya? Apakah dia sama kasusnya seperti Mr. Hanan dan mas Adnan? Adnan Al-Hanan, jiwa berbeda dengan raga yang sama. Namun, jika seperti itu ... kenapa sikapnya tidak berubah terhadapku? Apa lagi ini?

Bugh ...

Aku ditarik dengan kuat, sebelum Bogeman mentah mengenai pipi Ayi---panggilanku untuknya. Bogeman itu terus menerus mengenai tubuhnya, dan dia belum sempat tuk berdiri apalagi melawan. Pelakunya? Tentu saja mas Adnan---pria posesif itu.

Dreams ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang