Dreams|Bagian Dua puluh Lima

98 25 24
                                    

Telah kupikirkan dengan matang, aku akan menceritakan semuanya---tentang masa lalunya denganku. Walau nanti akhirnya dia kan menjauh dariku, aku patut sadar diri. Aku berhak menerima semua kemungkinan-kemungkinan tersebut.

Dengan menghela napas panjang, aku pulang. Hendak menyelesaikannya sekarang juga. Sebelum semuanya terlambat. Aku tak menginginkan dia salah paham lagi akan diriku. Cukup di saat itu.

Seberapa cinta pun aku dengan dirinya, aku tak boleh dikuasai akan ego. Takutnya, cintaku bukanlah cinta, melainkan obsesi semata. Terlampau cinta bisa jadi benci bukan?

Aku tak bisa membiarkannya terkurung dalam cinta terpaksa. Diantara orang yang saling mencinta, bukankah harus duka dan bahagia bersama? Aku tak ingin, hanya aku yang bahagia, sedang dia terluka dalam duka.

Aku tak ingin menjadi awan untuknya sang hujan, yang terus menghempaskannya walau dia terus kembali kepadaku, demi kebahagiaanku semata. Aku ingin menjadi langitnya, yang selalu bertahan dalam keadaan apa pun untuk dirinya---semestaku.

Aku akan memperjuangkannya. Menjadi apa pun yang ia inginkan. Duniaku adalah dirinya, dirinya adalah duniaku. Kan kupinta ia kepada sang Maha Cinta, untuk memberiku kesempatan memperjuangkannya---bidadari berwujud manusia.

Najwa Akib ... kucintai kau dengan Bismillah, kupinta kau atas nama Allah, kuperjuangkan dirimu di sepertiga malamku.

Aku melangkah dengan tergesa, memasuki pintu mansion yang telah terbuka. Aku berteriak, memanggil namanya. Namun, tak ada sahutan sama sekali.

Aku mencarinya ke kamar kami, dia pun tidak di sana. Ke kamar mandi, sama jua. Dapur, apa lagi. Sudah kukelilingi setiap ruangan yang ada di mansionku ini, tak jua kumenemukan dirinya.

Aku meneleponnya berulang kali, dia tak menjawab. Aku frustasi, takut benar dia pergi. Sampai aku teringat akan satu hal, ruangan itu, aku belum mengecek keberadaannya di sana. Apa dia ...

***
Dreaming
***

Namun, dia menggenggam erat tanganku, menarikku dengan kasar, menghempaskanku pada sofa yang ada di sana. Aku hanya dapat pasrah, bagaimanapun nasibku nantinya, kuharap ... Tuhanku selalu bersamaku---

Dia membatasi ruang gerakku, membuatku meringkuk pada sofa single itu. Tatapannya begitu tajam, rahang kokohnya mengeras, wajahnya begitu merah, dengan tangan yang terkepal kuat.

Saat dia bergerak, mengangkat tangannya, kututup mataku rapat. Aku takut, bukankah dia begitu temperamen? Aku telah siap menerima pukulannya, atau hal menyakitkan lainnya yang akan ia lakukan padaku, seperti saat itu.

Namun ... Beberapa saat, tak ada yang terjadi. Genggaman lembut nan hangat menyentuh jari jemariku. Aku memberanikan diri membuka mataku.

Yang kulihat pertama kali, dia yang menggenggam erat kedua tanganku. Dia menunduk mengecup jari jemariku, telapak tangan, serta punggung tanganku. Aku merasakan cairan bening itu, dia menangis seraya berlutut di hadapanku.

Aku membiarkannya seperti itu, dengan Isak tangisnya yang terdengar menyayat di kalbuku. Mungkin beberapa orang akan berpikir, tak pantas seorang pria menangis seperti itu. Namun bagiku, pria pun manusia biasa yang bisa saja menangis. Mereka pun berhak atas itu.

Dari kaskus.co.id menyebutkan bahwa, ada pernyataan yang terlintas tentang tangisan seorang pria yang menyentuh. Ketika seorang pria menangis karena wanita, maka saat itu lah dipastikan wanita itu sangat dicintainya dengan sungguh-sungguh.

Aku percaya akan hal itu, dari mata brown-nya nampak kesungguhan dalam tangisnya, dia benar-benar telah mencintaiku, cintaku tak lagi bertepuk sebelah tangan, cintaku pada akhirnya terbalaskan.

Dreams ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang