Dreams|Bagian Tiga puluh Lima

112 20 11
                                    

Dengan ataupun tanpanya, kisahku haruslah terus berlanjut. Karenanya, tak mungkin aku abaikan kasih sayang nan cinta yang ditunjukkan oleh orang-orang terkasih yang kini berada di sekitarku. Olehnya, mentari kembali setelah mendung, riang kembali setelah sendu. Senyumku tak boleh pergi untuk seseorang yang belum tentu akan kembali.

Untuk beberapa Minggu ini, masalah serasa enggan tuk menghampiri. Mungkin, ia minder melihat kebahagiaan kami. Namun tak bisa dipungkiri, dia akan datang ketika kami benar-benar telah berada di puncak kebahagiaan, untuk menjatuhkan dari ketinggian, menyebabkan luka yang teramat dalam. Maka dari itu, aku patut waspada. Kisah dalam cerita takkan seru tanpa konflik bukan? Karena, rasa sakit merupakan tanda, bahwa kita masih hidup.

Kini, aku tengah berdiri, memandang satu per satu foto yang tergantung pada rangkaian lampu tumbler yang ada di kamarku. Yah di kamarku, sebab sekarang aku tengah berada di rumah orang tuaku. Menghabiskan waktu bersama mereka, menebus waktu yang telah berlalu tanpaku ditengah-tengah mereka. Mas Adnan pun memberiku saran agar kami menetap sementara di sini, hingga rasa rindu itu terbayarkan. Suami yang pengertian bukan?

Melihat potret kebersamaan kami selama ini, entah senyum ataukah air mata yang harus kuperlihatkan, rasa bercampur aduk di sana, memberi gelenyar aneh yang tak terdefinisikan. Foto-foto masa kecilku bersama mama, papa, kak Awal dan kak Awan, aku juga menggantung foto mami, papi, dan Alora di sana. Tak terlupa, potret kebersamaanku dengan Mas Adnan juga mama Lana. Mereka cukup untuk memberiku rasa duka maupun suka, membuat rasaku lengkap, membuat hidupku lebih berwarna, tak hanya putih abu-abu semata.

Dan ... Fotonya---potret kebersamaanku dengannya, juga kupajang di sana.

Beberapa hari yang lalu, kusempatkan diri untuk kembali ke Jogja, mengunjungi rumah dan mansion yang menjadi saksi bisu kisahku yang putih abu-abu. Aku membawa semua kenanganku kemari, lewat potret indah yang terabadikan dengan kamera, telah tercetak dikertas putih yang keras nan mengkilap itu. Bukankah masa lalu patut tuk dikenang dan dijadikan pembelajaran pada masa yang akan datang? Maka ... Itulah yang sedang kucoba lakukan.

Aku masih akan memandang, jika deru mobil tidak terdengar memasuki pekarangan. Aku segera mengenakan jilbabku, lalu turun untuk menyambut kedatangan suami dan kakak-kakakku. Sedang mama dan papaku, kini tengah melakukan perjalanan bisnis keluar kota.

Dengan tergesa, kuturuni satu persatu anak tangga, membuka pintu, menyambut mereka tepat di sana. Aku tersenyum riang, menyalami punggung tangan suamiku, mengambil alih barang bawaannya, lalu menggandengnya untuk masuk ke dalam rumah.

"Mesra-mesraan terus, gak liat apa ada jomblo nih disini," sindir kak Awal yang juga berjalan memasuki rumah beriringan dengan kak Awan tepat berada dibelakang kami.

"Lo aja yang ngerasa. Gue gak tuh, b aja," ucap kak Awan yang sepertinya hendak menggoda kak Awal, tapi dengan nada yang datar. Dan itu terdengar aneh juga lucu di saat yang bersamaan.

"Lo tuh yah, gak ada kerjasamanya banget. Gerah gak sih Lo ngeliat mereka mesra-mesraan tiap hari didepan kita? Udah bukan penganten baru lagi," gerutu kak Awal yang kesal denganku dan juga mas Adnan, sekaligus kesal dengan kak Awan yang tidak mendukung protesnya.

"Jangan salahkan orang lain. Sudah nasibmu untuk menjomblo," ujar kak Awan akhirnya, sebelum berlalu menuju ke kamarnya.

Mas Adnan dan aku terkekeh, sedang kak Awal cemberut dan menghentak-hentakkan kakinya , juga berjalan menuju ke kamarnya.

Aku pun sama, menuntun mas Adnan untuk berjalan ke kamarku---kamar kami. Aku membukakan pintu kamar untuknya, menaruh barang-barangnya di atas meja, menghidangkannya segelas kopi yang sudah kusiapkan sedari tadi, membantunya melepas jas dan sepatu serta kaus kakinya. Selepasnya, menyiapkan air hangat untuknya mandi.

Dreams ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang