Dreams|Bagian Empat puluh Dua

89 24 9
                                    

Aku merasa lega sekaligus bahagia. Jiwa dan cintaku telah kembali ke sisiku tak kurang suatu apa pun. Membuatku tak bisa lepas darinya, mengikuti ke mana dan di mana pun ia pergi. Atau dia yang harus mengikutiku, ke mana dan di mana pun aku pergi. Apa pun itu, yang jelas ia selalu bersamaku---di sisiku.

Aku terus mengekorinya, layaknya anak ayam yang selalu mengekori induknya. Membawanya ketika aku ke kantor ingin mengurusi suatu hal yang penting, atau ke mana pun yang perlu kudatangi.

Aku tau dia risih dan merasa tak nyaman, tapi kuhiraukan. Aku tak mau dia meninggalkanku lagi. Dan kurasa, untuk seseorang yang sangat pengertian sepertinya, dia tak akan meninggalkanku sebab merasa tak nyaman dengan sikap over protektifku.

Kutepis semua pemikiran bahwa dia kan meninggalkanku jika sikapku terlalu over menjaganya, menggantinya dengan pemikiran optimis bahwa dia kan mengerti dengan sikap berlebihan yang kutujukan padanya.

Sebab dia telah kembali---wanita kesayangan di keluarga kami, baik keluarga Akib maupun keluarga Al-Hanan. Maka rencananya, para mama---mamaku dan mama mertuaku akan membuat pesta penyambutan juga syukuran atas keselamatan Najwa. Kami akan mengundang orang-orang terdekat saja.

Tentu saja Najwa sempat protes. Dengan alasan saudara kembarnya yang masih meregang nyawa, dia yang masih dalam keadaan berduka atas musibah yang menimpa mami dan papinya. Walau nyatanya musibah  itu mereka buat sendiri, tapi ... Begitulah Najwa, yang sampai sekarang kutak tahu hatinya terbuat dari apa.

Saat itu, dia bahkan sampai menangis tersedu-sedu. Menceritakan bagaimana adiknya di siksa selama 12 tahun lamanya, kembarannya yang harus menanggung dukanya seorang diri, merasa terbuang, sampai akhirnya merusak dirinya sebagai pelarian akan rasa sakitnya. Dan sekarang, adiknya itu tengah menggantikannya terbaring tak berdaya dengan alat-alat medis sebagai penopang kehidupannya.

Walau semua itu disebabkan oleh maminya---Sarah, dan kelemahan papinya---Arsen, tapi Najwa tak melimpahkan kesalahan kepada mereka untuk semuanya. Karena kata Najwa, ini adalah jalan takdir yang membuat peristiwa tanpa penjelasan, membuat sebuah kesalahpahaman yang berakibat akan dendam.

Menyalahkan mereka sama saja menyalahkan skenario Tuhan yang telah di susun oleh-Nya. Yang bisa dilakukan sekarang adalah introspeksi diri, menjadikan masalah ini sebagai pembelajaran di waktu mendatang. Bersyukur atas masalah yang diberikan, karena adanya masalah menjadi salah satu bukti, bahwa kita masih hidup.

Penjelasannya tersebut mampu membuat kami malu dan terharu. Sempat merasa diri paling benar, menyalahkan orang lain, tanpa tau kami pun pernah melakukan kesalahan. Pada hakikatnya, kesalahan ada untuk dikoreksi, diperbaiki, tuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Sempat acara tersebut ingin dibatalkan. Namun, melihat keantusiasan mamaku dan mama mertuaku, kak Awan kembali membujuk Najwa. Dia mengatakan bahwa, selain acara penyambutannya dan syukuran atas keselamatannya, kami pun akan mengadakan doa bersama untuk kesembuhan Alora, kewarasan Sarah, dan rasa tenang papinya di sisi-Nya.

Dengan itu ... Najwa akhirnya setuju.

“Mas?” panggil Najwa. Membuatku yang tengah berdiri menghadap jendela kaca, yang menyuguhkan pemandangan kolam di bawahnya, menoleh kearahnya segera.

Dia disana, di belakangku, terduduk di sofa yang selurus dengan tempat tidur kami. Dia memanggilku, tapi fokus pada pemotong kuku yang tengah ia gunakan memotong kuku kakinya.

“Kenapa sayang?” jawabku dengan kalimat tanya. Aku menghampirinya, duduk di sampingnya, mencuri kecupan ringan pada pipinya.

“Apa aja yang Mas lakuin ke Alora pas aku gak ada?” tanyanya yang kini menatapku dengan tatapan curiga.

Dreams ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang