Dreams|Bagian Dua puluh Empat

96 25 14
                                    

Aku kembali ...

Bukankah aku telah pergi? Namun, pagi ini ... Aku terbangun dalam pelukannya---mas Adnan. Aku tidak tau harus berkata apa lagi, yang jelas harus segera kupecahkan teka teki ini.

Tak bisa aku menulis seperti ini. Kertas putih dengan pena bertintakan warna putih, yang ada ... buram tak terbaca. Harus kulapisi segera, dengan pena yang bertinta cocok.

Selepas Shalat subuh berjemaahku dengannya, aku bergegas menyiapkan segala keperluannya. Meski sakit hatiku belum reda karena Mr. Hanan yang di sana, setidaknya aku harus berbakti dengan mas Adnan yang memberiku kasih sayang di sini.

Ada ragu yang menyapa relung hatiku. Dia yang belum tentu mahramku, belum tentu pula dia mencintaiku. Takutku melabuhkan hati dalam dosa yang berkepanjangan. Namun, entah mengapa ... ragaku menerima begitu pun jiwa dan hatiku. Hanya pikirku yang tak selaras dengan semuanya.

“Selamat pagi sayang,” sapanya. Ia sudah rapi dengan setelan kantornya, menyapaku dan memberiku ciuman hangat, sejenak--- di pelipisku.

Setelahnya, ia duduk di pantri. Menikmati sarapan yang telah aku siapkan untuknya. Aku---duduk menemaninya.

“Kamu masuk kampus hari ini?” tanyanya, di sela-sela makannya.

“Gak, Mas. Semua nilaiku sudah kuperbaiki. Tinggal tunggu hasil pemeriksaan skripsiku,” jawabku. Dia membalasnya dengan mengangguk-anggukan kepala mengerti.

“Jadi, kamu mau ngapain hari ini?” tanyanya lagi, sambil terus mencomot makanan yang ada di hadapannya.

“Di rumah aja Mas, mau baca buku. Novelku yang kemarin Mas belikan belum kubaca sampai habis,” jawabku yang juga tengah menikmati sarapan sepertinya.

“Berarti ... Aku boleh pulang makan siang bareng kamu kan?” ucapnya dengan tanya yang menggoda. Aku tersenyum kikuk ke arahnya. Dengan malu-malu, aku mengangguk setuju.

Selepas menghabiskan sarapannya, ia pamit ke kantor padaku. Seperti biasa, aku akan mengantarnya ke pintu depan, menyalaminya, dengan dia yang mencium pucuk kepalaku, sebelum akhirnya mobilnya menjauh dari pekarangan mansion.

Jika sudah seperti itu, aku akan sendirian di dalam mansion, dengan di awasi para bodyguard di luar mansion. Biasanya, jika sendirian seperti ini aku akan membaca buku. Namun, kali ini aku akan berkeliling mansion. Siapa tau, aku menemukan beberapa hal untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam benakku.

Satu per satu ruangan aku buka, baik yang terkunci maupun tidak. Untung saja, di rumah ini setiap kunci ruangan tergantung di hadapannya. Namun, sudah beberapa jam aku berkeliling, aku tidak menemukan apa-apa.

Sampai ... aku menjumpai sebuah tangga---tangga yang tak terlihat jika dilihat sekilas. Dengan perlahan aku mendekat, menatap dari ujung tangga bagian bawah. Ada satu ruangan di sana. Pada pintunya bertuliskan, baby girl room.

Dengan rasa penasaran, aku melangkah. Kuberhenti, tepat di depannya. Terdapat tombol PIN di sana. Bagaimana aku membukanya?

Beberapa saat aku berpikir, masih berusaha untuk menemukan cara agar dapat masuk ke dalam ruangan tersebut. Hingga terlintas dalam benakku, dia  memanggilku baby girl di pertemuan pertama kami di sini. PIN-nya ... Apakah tanggal lahirku? Atau hari pernikahan kami?

Dan jackpot, PIN-nya tanggal lahirku. Membuatku speechless seketika. Apa tanggal lahir Alora pun sama denganku?

Dengan rasa senang yang amat kentara, aku masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak lupa, tuk menutup pintunya kembali.

Aku berbalik, menatap ke depan. Ruangan ini begitu luas, tapi baru kuketahui keberadaannya. Terdapat kaca besar di sana, ditutupi oleh gorden berwarna abu-abu atau lebih ke silver. Di depan kaca besar tersebut terdapat sofa, dilengkapi televisi. Ada akuarium besar yang begitu menarik dipandang mata, tepat di sebelahnya. Ada pula meja, meja seperti yang ada di ruangan meeting papa Arsen, dengan kursi-kursinya.

Dreams ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang