Dreams|Bagian Empat

151 29 7
                                    

Matanya---mata yang mengingatkanku pada sosok di masa lalu. Suaranya---suara yang selalu membuatku luluh. Dirinya---sesosok yang telah kusia-siakan.

Telah lama aku mencarinya, rinduku membuncah ingin sekali berjumpa dengannya. Namun, apalah dayaku. Aku telah bersalah terhadapnya.

Aku menginginkannya setelah dia tak lagi di sampingku. Aku membutuhkannya di saat dia telah pergi jauh dariku. Aku mencintanya, namun aku terlambat tuk menyadari perasaanku sendiri.

Mata bulatnya yang hitam dan penuh binar yang menyapaku di setiap pagi hariku, tangan kecilnya yang begitu tangguh selalu menyiapkan segala keperluanku, mulut merah muda merekahnya yang selalu menyentuh punggung tanganku, tak pernah sekali pun terlupa.

"Adnan! Dia tak akan kembali jika kau hanya diam menyesali."

"Mama tenang saja. Akan kupastikan dia kembali. Di sini---di sisiku."

***
Dreaming
***

Kegelapan menyelimuti malam, langit yang tak berbintang menambah kesan yang menakutkan, pohon-pohon yang rindang menjulang, memagari sepanjang perjalanan. Namun, yang terasa bukanlah sepi atau takut, tapi rasa tenang yang disertai senang.

Tampak sepasang suami istri bercanda ria, dengan sang suami mengemudikan mobil yang tengah di tumpangi. Terlihat dua pria remaja yang juga tengah tertawa bahagia, tak terlupa seorang gadis kecil yang tengah berbicara dengan kelucuannya. Rupa-rupanya mereka adalah sebuah keluarga yang baru saja pulang dari keseruannya jalan-jalan.

Dari kejauhan, aku melihat semua peristiwa bahagia itu. Mereka yang ada di sana tampak begitu familiar. Namun, penglihatanku tak begitu jelas. Mereka hanyalah bayangan buram yang lama menetap seolah-olah memang untukku pandangi dan perhatikan.

Tak lama, cahaya terang memenuhi indra penglihatanku. Diikuti dengan suara yang memekakkan telinga. Raut kebahagiaan yang baru beberapa menit kupandangi dari mereka, tiba-tiba berubah menjadi raut ketakutan disertai rasa panik. Mereka berteriak, tak jelas kudengar. Hanya gerakan mulut dan mimik wajah yang bisa kutangkap.

Aku tersentak, ketika sebuah mobil truk tiba-tiba menerjang dan menabrak mobil yang ditumpangi keluarga bahagia itu.

Seketika mobilnya tak berbentuk. Tak lama, cairan bahan bakar menyatu dengan cairan pekat berwarna merah.

Gadis kecil itu ... melihat ke arahku, matanya memerah dengan darah yang mengalir di sekitar pelipisnya. Sepertinya, dia hendak menyampaikan sesuatu kepadaku. Namun, entah apa lah itu, tapi dari semua hal yang ada di sana, hanya dia yang dapat kulihat dengan jelas.

Rambutnya yang hitam legam nan panjang, alis tebalnya yang terukir rapi, bulu mata lentik menghiasi mata hitam berbinarnya, hidung mungil nan mancungnya meneteskan darah, dan bibir kecil nan tipisnya terbuka hendak berbicara.

Tangan gemetarnya kian terangkat. Hingga tak lama sudah bertengger di pundakku. Ia memandangku pilu, degan mulut gemetar ia berkata 'to ... long aku'.

Allahuakbar Allahuakbar ...

"Huh huh huh huh huh... Astaghfirullah! Allohumma inni a'zubika min 'amalis syaithoni wa sayyi-atil ahlam."

Adzan subuh membangunkanku dari mimpi burukku. Setelah sekian lama, barulah lagi aku didatangi oleh mimpi-mimpi menakutkan itu. Yang dapat kuingat, terakhir kali aku dijumpainya sembilan tahun yang lalu. Mimpi yang sama yang terus terulang.

"Alhamdullillahilladzi ahyaanaa bada maa amaatanaa wa ilaihin nushur."

***
Dreaming
***

Dreams ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang