Dreams|Bagian Sebelas

126 26 5
                                    

Sebagai mahasiswi semester akhir, aku benar-benar sibuk. Sibuk untuk kedua kalinya. Apa lagi ... ini bukan minat dan studiku, mengharuskan aku belajar terlebih dahulu. Belum lagi ... ternyata Alora belum menyusun sedikit pun dari skripsinya, hal itu kuketahui setelah menghadap kepada dosen pembimbingnya.

Tidak hanya itu yang menjadi kendala, masih banyak mata kuliah yang nilainya di bawah rata-rata, mengharuskan aku untuk memperbaiki hal itu terlebih dahulu.

Lagi pula, bagaimana aku menyelesaikan semua ini? Nyatanya, bukan aku yang masuk kelas selama ini, bukan aku yang KKN, pokoknya bukan aku yang kuliah. Lalu, bagaimana aku menyusun skripsi dan memperbaiki nilai mata kuliah yang lainnya?

Untung saja, om Rafa bersedia untuk membantu. Karena ternyata, selama ini om Rafa di pinta oleh papa Arsen untuk memantau Alora dari kejauhan. Bahkan untuk studi Alora pun om Rafa sampai membuat laporan pelaksanaannya.

Dengan semua laporan-laporan itu lah aku bisa memperbaiki semuanya. Aku harap hasilnya tidak lebih buruk dari yang dikerjakan oleh Alora.

Bruk...

Sebab terlalu fokus dengan pikiranku sendiri, aku sampai menabrak seorang mahasiswi di lorong kampus.

"Eh, maaf. Maafkan aku," ucapku meminta maaf padanya. Setelah itu, kubantu ia untuk memungut barang bawaannya yang terjatuh.

"Sekali lagi aku minta maaf yah. Aku benar-benar tidak sengaja," ucapku lagi setelah memberikan barang-barangnya yang ada di tanganku.

Namun, dia tak meresponku sama sekali. Dia hanya memandangku dengan wajah layaknya orang yang  tengah terkejut.

Aku yang melihatnya seperti itu, menepuk bahunya pelan.

"Kamu tidak apa-apa? Apa aku menyakitimu?" tanyaku yang dibalasnya dengan gelengan.

"Lalu, kamu kenapa?" tanyaku lagi.

"Lo seperti yang anak-anak bicarakan---berbeda," katanya masih tidak mengalihkan pandangannya dariku.

"Oh, soal itu. Beginilah nasib orang yang baru saja lupa ingatan," jawabku berusaha untuk biasa-biasa saja.

"Berubah 180 derajat? Yang benar saja," balasnya seakan tidak percaya.

"Oh, kita belum kenalan. Namaku Na ... Alora, kamu?" ucapku mengajaknya untuk berkenalan sambil mengulurkan tanganku kearahnya.

"Aku ... aku Icha, Aisyah Maharani," balasnya. Juga membalas uluran tanganku.

Dengan pertemuan dan obrolan singkat, kami jadi akrab. Dia banyak bercerita denganku tentang Alora, sebab paksaan dariku. Walau dia awalnya ragu, tapi  dengan sekuat tenaga, aku membujuknya, dan berakhirlah dia bercerita panjang lebar tentang Alora.

Alora yang famous, Alora yang glamor, Alora yang bandel, dan banyak sifat lainnya yang tidak disukai oleh Icha. Semuanya Icha ceritakan padaku. Kalian pasti bertanya mengapa aku gampang percaya dengan orang yang baru saja aku kenal? Tentu saja, aku sudah terbiasa dengan situasi ini. Ini sama halnya aku percaya pada keluarga Alora.

Dengan perjalanan kami yang lumayan jauh, kami akhirnya sampai di kantin kampus. Kulihat Icha melambaikan tangannya pada seorang perempuan yang tengah duduk di salah satu kursi di kantin itu, kemudian dia menarik tanganku untuk menuju ke sana.

Sebenarnya, sedari tadi aku sudah menjadi bahan gunjingan penghuni kampus. Namun, aku pura-pura tidak dengar saja. Lagi pula, Icha sepertinya tidak terganggu dengan hal itu. Aku dapat menyimpulkan mereka membicarakan tentang teman yang kupergauli telah berbeda.

"Duduk Al," ucap Icha mempersilahkanku duduk bergabung bersama mereka.

"Kenapa Lo ajak dia duduk bareng kita?" bisik teman Icha yang tidak kutahu namanya.

Dreams ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang