Bab 21

9K 720 32
                                    

Wah, anak SMP udah gede sekarang.” Suara yang menginterupsi, refleks membuat Cattleya menyembur bubble tea miliknya. Dalam hitungan detik, atensinya telah berpindah, dari beberapa lelaki yang sedang memainkan basket di lapangan ke sisi kiri.

Wajah tak asing, namun sudah lama tak ia lihat kini berada di hadapan. Untuk sejenak Cattleya termangu, memandang garis wajah yang sempat mengosongkan salah satu bagian dari dirinya.

“Sekangen itu, ya, sama gue?” Bergegas Cattleya mengalihkan perhatian kembali ke arah lapangan. Berpura-pura tak mendengar, mengabaikan kekehan orang di samping. Dan sepertinya orang tersebut kini benar-benar mendudukkan diri di bangku lapangan basket, tepat di sebelah Cattleya.

Nggak nyangka, anak SMP udah besar sekarang.” Cattleya mengernyit. Pernyataan aneh macam apa itu? Ia kira, Cattleya stunting? Tidak berkembang dan bertumbuh?

Cuma sayangnya nggak bertambah tinggi,” lanjut seseorang di sebelah. Cattleya yang masih bergeming, mendengus pelan. Meski tujuh tahun telah berlalu, sepertinya hanya waktu yang berubah. Sedang sikap orang ini masih sama. Masih menyebalkan.

“Makin cantik,” tambah orang itu lagi sedikit berbisik. Namun, dengan jarak yang hanya terpaut satu jengkal, bisikan tersebut tak lepas dari tangkapan pendengaran Cattleya. Gadis itu berdeham pelan, memalingkan muka ke arah yang berbeda.

Untuk beberapa saat, hening mendominasi.

“Senang bertemu kembali, anak SMP.”

Kata-kata tersebut menarik atensi Cattleya untuk menoleh. Tampak lelaki yang mengenakan jas abu-abu dipadu dengan celana chino gelap beranjak pergi meninggalkan gadis itu tanpa menoleh sedikit pun, sambil menyembunyikan tangan di kedua saku celananya. Terbersit sedikit rasa sesal, kenapa ia tak memandangi puas-puas wajah yang sempat mencuri kerinduannya itu?

‘Eh? Rindu? Mustahil,’ tampik Cattleya membatin.

***

Sepertinya tanpa sadar, Cattleya selalu melangkah ke perpustakaan dan duduk di sudut ruang baca, setiap kali dirinya memikirkan sesuatu. Contohnya saja hari ini, alih-alih pulang—karena kelas yang sudah selesai sejak beberapa menit lalu—ia malah duduk di tempat yang sama. Entah kenapa Cattleya enggan membawa kakinya menuju rumah. Membantu mamanya menjaga toko roti, menyiapkan makan malam, seperti yang ia lakukan semenjak sang ibu sakit.

Lamat, gadis itu mendesah pelan. Permasalahan yang ia hadapi beberapa waktu terakhir tak hanya menguras tenaga, tetapi juga pikirannya. Sempat dirinya ingin meyerah, meninggalkan kuliah yang baru saja memasuki semester pertama. Beruntung, masalah itu sudah hampir terselesaikan berkat bantuan seseorang yang tak diduga-duga. Namun, bukannya merasa lega, ia semakin memikirkan hal tersebut.

“Ikut gue.” Seseorang menarik lengan Cattleya tiba-tiba. Gadis itu terperangah, ditarik secara mendadak dari ruang lamunannya. Ia yang masih mencerna, akhirnya diam menuruti.

Langkah keduanya terhenti di lorong antar rak buku yang tak jauh dari meja baca dan dinding perpustakaan. Setelah memastikan keadaan sepi, orang tersebut mengurung Cattleya yang masih membisu—mencerna situasi—dengan kedua lengannya. Menatap lekat manik gadis di hadapan, mengunci atensi untuk saling beradu pandang.

“Delapan tahun yang lalu, gue dan elo belum memperkenalkan diri dengan benar. Jadi, gimana kalau kita saling memperkenalkan diri sekali lagi?” tanya orang itu, yang entah kenapa menarik netra Cattleya untuk tak berpaling sedikit pun, seolah ada magnet terpasang di wajah tegasnya. Membuat gadis tersebut bungkam, alih-alih menanggapi.

“Gue … bukan, saya ….” Namun, sepertinya ia tak perlu-perlu bersusah-susah menunggu jawaban dari Cattleya. “Davano Algara. Dosen ganteng yang sekarang mengajar di universitas yang sama dengan kamu.”

Kerfuffle (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang