Bab 35

8.5K 584 13
                                    

Bukankah pertengkaran adalah suatu hal lumrah yang akan terjadi pada setiap orang?
Entah itu pilihannya semakin memperat ikatan atau malah membuatnya semakin renggang

***


“Pak.”

“Hm.” Dava menjawab seadanya sambil memejamkan mata. Merebahkan kepala di pangkuan Cattleya, menikmati gerak tangan sang istri yang sedang menelusuri rambut miliknya.

“Ternyata bertengkar itu melelahkan juga, ya.” Mendengar kalimat tiba-tiba dari wanita tersebut, refleks membuka mata Dava perlahan. Menatap bisu istrinya yang sedang memandang kosong ke depan.

“Kenapa tiba-tiba?” ucapnya kemudian. Mempertanyakan kondisi Cattleya yang sepertinya sedang memikirkan banyak hal. Wanita itu akhirnya menoleh, menggeleng tipis lalu kembali memandang ke depan.

“Hanya sedang memikirkan itu aja,” balasnya. “Saya cuma bingung, kenapa banyak orang lebih memilih untuk bertengkar, daripada membicarakannya secara baik-baik. Bahkan, ada yang meluapkan semua perasaannya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Bukankah itu lebih banyak membuang tenaga dibandingkan meminta maaf? Saling menyakiti dengan ucapan masing-masing, lalu melarikan diri. Seperti seorang pengecut,” ujar Cattleya melanjutkan.

Dava sendiri tidak yakin, kenapa Cattleya mendadak mengatakan hal tersebut. Namun, jika dilihat dari rautnya yang tak biasa, jelas menunjukkan bahwa wanita itu memang sedang memikirkan sesuatu yang membebaninya. Hanya saja, Dava tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Cattleya. Dan, ia yakin, istrinya tak akan memberitahunya meski ia bertanya sekalipun.

Dava menahan pergelangan tangan Cattleya yang menyugar rambutnya, menarik atensi wanita tersebut kembali menoleh.

“Berhenti berpikir untuk saat ini. Kamu meracau nggak jelas, Cey.” Cattleya bungkam. Netranya lekat menatap manik milik Dava tanpa suara. Membalas perlakuan sama dari lelaki itu.

“Saya bisa tersinggung, loh. Kamu memikirkan hal lain sementara saya ada di sini,” tambah suaminya sedikit bercanda. Cattleya yang masih bergeming membuat tarikan di sudut bibir Dava menurun.

“Saya nggak ngerti apa yang sedang kamu bicarakan. Tapi, mereka yang selalu melarikan diri mungkin saja memang seorang pengecut. Dan, saya tidak suka orang seperti itu.”

Perlahan, Cattleya merenggangkan pergelangan tangannya dari genggaman Dava. Sementara arah pandangnya beralih seketika—menjauh.

“Pertengkaran adalah hal wajar. Tinggal bagaimana mereka memilih ujung pertengkaran itu. Mengikat atau malah menjauh,” lanjut sang suami. Matanya telah kembali terpejam, menarik tangan Cattleya yang menepi, memeluk erat di atas dada.

“Saya sering dengar kalimat ini, ‘Mereka yang sering bertengkar bisa jadi nyatanya saling menyayangi jauh di dalam lubuk hati’.” Dava tertawa kecil. “Saya nggak yakin, apakah teori itu benar-benar terjadi di dunia nyata atau hanya ada di cerita fiksi.”

Untuk sesaat, keduanya berada dalam keheningan. Saling tenggelam dalam benak masing-masing. Sampai akhirnya, desah pelan milik Dava—sebelum kembali melepas tawa kecil—menyela.

“Gara-gara kamu, nih, topik kita jadi ber--”

“Menurut Bapak, apa saya juga termasuk orang yang melarikan diri?” Spontan Dava membuka netra, mendapati kalimat interupsi Cattleya yang terdengar begitu … putus asa?

Kerfuffle (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang